Saturday 19 October 2013

Ekonomi Islam

KARAKTERISTIK EKONOMI ISLAM
Secara teoritis terdapat tiga aliran besar dalam system perekonomian : yaitu: sitem kapitalisme, sosialisme, dan paradigma ekonomi Islam. Dalam operasionalnya, ekonomi Islam mempunyai karasteristik dan landasan yang berbeda dengan sistem kapitalisme dan sosialisme.
1.Dialektika Nilai-Nilai Spiritualisme Dan Materialisme
Sistem  perekonomian kontemporer hanya terkonsentrasi terhadap peningkatan utility dan nilai-nilai materialisme suatu tanpa menyentuh nilai-nilai spiritualisme dan etika kehidupan masyarakat. Sistem kapitalisme memisahkan intervensi agama dari perbagai kegiatan dan kebijakan ekonomi, padahal pelaku ekonomi merupakan penggerak utama bagi perkembangan peradaban dan perekonomian masyarakat. Akhirnya, kehidupan ekonomi masyarakat terbebas dan koridor agama, sehingga kebijakan individualah yang berperan dalam pengembangan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, Dengan demikian, terbentuklah individu-individu yang bersifat individualistik dan materialistik.
Dalam konsep Karl Marx, agama merupakan faktor penghambat bagi terciptanya kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat (an obstacle to economic growth).Dalam konsep ekonomi Islam terdapat dialektika antara nilai-nilai spiritualisme dan materialisme. Perbagai kegiatan ekonomi, khususnya transaksi harus berdasarkan keseimbangan dan kedua nilai tersebut. Hal ini menunjukan sebuah konsep ekonomi yang menekankan nilai-nilai kebersamaan dan kasih sayang di antara individu masyarakat. Konsep dialektika tersebut juga kita temukan dalam rukun Islam. Di samping kita diperintahkan untuk mengakui ke-Esaan Allah Swt, membenarkan risalah Muhammmad Saw dan mengerjakan shalat, kita juga diperintahkan untuk membayar zakat atas harta kekayaan yang telah mencapai nisbah. (ketentuan). Karena dalam konsep zakat, terdapat nilai-nilai spiritualisme dan materialisme, yaitu zakat merupakan ibadah yang berdimensi social.
Dalam konsep zakat kita temukan suatu proses pensucian diri dan nilai-nilai kekikiran dan individualistik, di samping mengandung nilai ibadah. Selain itu, zakat merupakan salah satu instrumen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta merupakan sumber dana jaminan sosial. Dengan zakat, kebutuhan pokok masyarakat akan terpenuhi. Sehingga aggregate demand yang ada tetap terjaga dan dapat menggairahkan sektor produksi. Melalui konsep zakat, dapat clirasakan adanya harmonisasi nilai spiritual dan material hagi kesuksesan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
2. Kebebasan Berekonomi
Dalam kerangka merealisasikan konsep kebebasan individu pada kegiatan ekonomi, kapitalisme menekankan prinsip persamaan bagi setiap individu masyarakat dalam kegiatan ekonomi secara bebas untuk meraih kekayaan. Realitasnya, konsep kebebasan tersehut menimbulkan kerancuan bagi proses distribusi income (pendapatan) dan kekayaan. Selain itu, sistem tersebut secara otomatis mengklasifikasikan masyarakat menjadi dua bagian, yaitu pemilik modal dan para pekerja. Dalam konsep sosialisme, masyarakat tidak mempunyai kebebasan sedikit pun dalam melakukan kegiatan ekonomi. Kepemilikan individu dihilangkan dan tidak ada kebebasan untuk melakukan transaksi dalam kesepakatan perdagangan.
Dalam ekonomi Islam, tidak menafikan intervensi pemerintah, Kebijakan pemerintah merupakan sebuah keniscayaan ketika perekonomian dalam kondisi darurat, selama hal itu dibenarkan secara syar’i. Intervensi harus dilakukan ketika suatu kegiatan ekonomi berdampak pada kemudharatan bagi kemaslahatan masyarakat. Intervensi juga harus diterapkan ketika pasar tidak beroperasi secara normal akibat penyimpangan mekanisme pasar, seperti halnya kebijakan pemerintah dalam memberantas monopoli (false demand and supply) dan mekanisme pasar. Maka dan itu, tetap dibenarkan kepemilikan individu dan kebebasan bertransaksi sepanjang tetap dalam koridor syaniah. Kebebasan tersebut akan mendorong masyarakat untuk beramal dan berproduksi demi tercapainya kemaslahatan hidup bermasyarakat.
3. Dualisme Kepemilikan
Hakikatnya, pemilik alam semesta beserta isinya hanyalah Allah semata. Manusia hanyalah merupakan wakil Allah dalam rangka memakmurkan dan menyejahterakan bumi. Kepemilikan manusia merupakan derivasi kepemilikan Allah yang hakiki. Untuk itu, setiap langkah dan kebijakan ekonomi yang diambil oleh manusia untuk memakmurkan alam semesta tidak holeh bertentangan dengan ketentuan yang digariskan oleh Allah Yang Maha Memiliki.
Allah Swt herfirman, “… kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ma’ idah: 17)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dan hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya (QS. Al-HadId: 7)
Kepemilikan Allah merupakan kepemilikan murni dan hakiki. Harta yang dimiliki oleh manusia merupakan titipan yang kelak pasti kembali kepada-Nya. Kendatipun demikian, manusia diberi kebebasan untuk memberdayakan, mengelola, dan memanfaatkan harta henda sebagaimana yang telah disyariatkan. Adapun kepemilikan manusia terhadap sumber daya alam terbagi menjadi kepemilikan individu dan kepemilikan publik (private and public property),
Ingin menguasai dan memiliki harta kekayaan, sesuai dengan sifat dasar manusia. Karena itu, syariah Islam membenarkan kepemilikan individu, tetapi tidak hersifat mutlak. Terlebih dalam mencari, mengelola, dan membelanjakan harta harus sesuai dengan nilai-nilai syariah. Tidak holeh menghalalkan segala cara yang merugikan pihak lain dan dapat mengganggu kemaslahatan bersama.
Allah Swt berfirman, “Dan jika kamu bertaubat (dan mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.” (QS. Al 279).
Konsep keseimbangan merupakan karakteristik dasar ekonomi Islam. Karena Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan seimbang. Salah satu wujud keseimbangan kepemilikan manusia adalah adanya kepemilikan public sebagai penyeimbang kepemilikan individu, Kepemilikan publik merupakan kepemilikan yang secara asal telah ditentukan oleh syariah. Asas dan pijakan kepemilikan publik adalah kemaslahatan bersama. Segala komoditas dan jasa yang dapat menciptakan ataupun menjaga keseimbangan dan kemaslahatan bersama merupakan barang publik yang tidak butuh dimiliki secara individu (public goods). Kepemilikan public goods dapat didelegasikan kepada pemerintah ataupun instansi lain yang mempunyai nilai-nilai amanah dan responsibility (tanggung jawab) yang dapat dibenarkan oleh syariah.
Berkenaan dengan kepemilikan publik, Rasulullah pernah mengindikasikannya dalam sebuah hadits, “Manusia bersekutu dalam 3 hal: air, padang sahara, dan api.” Penuturan Rasulullah atas ketiga komoditas di atas, bukan berarti public goods hanya dibatasi oleh 3 komoditas tersebut. Akan tetapi, makna hadits tersebut dikontekstualisasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagian ulama berpendapat, penyebutan Rasulullah atas ketiga komoditas tersebut adalah sebagai contoh dan bukan berupa pembatasan. Dengan demikian, kita bisa melakukan derivasi atas segala barang yang bersumber dan ketiga komoditas tersehut. Selain itu, kita juga bisa mengambil substansi komoditas tersebut dalam mewujudkan kemaslahatan hidup hersama, sehingga kita mampu metakukan analogi terhadap semua jenis komoditas dengan tingkat substansi yang sama.
Kepemilikan publik merupakan jenis atau bentuk komoditas yang herfungsi sebagai elemen kemaslahatan hidup bersama yang tidak boleh dimiliki oleh individu. Komoditas tersehut harus dikelola oleh sebuah instansi yang berfungsi menjaga kemaslahatan hidup bersama  “Segala hasil tambang yang menjadi pilar utama kemaslahatan hidup bersama, seperti air, garam, sulfur, aspal, gift, minyak, batu bara, dan lain sebagainya, tidak boleh dikuasai oleh individu yang tujuannya bukan untuk kemaslahatan bersama. Karena hal tersebut akan menimbulkan kerugian dan kesengsaraan hagi kehidupan masyarakat.”
Demikian juga dengan tanah pemerintah, harta wakaf, sumber kekuatan hidrolik, dan sumber-sumber kekuatan lainnya termasuk dalam kategori public goods yang tidak boleh dimiliki oleh individu. Hal tersebut dikhawatirkan terjadinya eksploitasi dalam mendapatkan keuntungan dan komoditas yang dimiliki. Tentunya, hal tersebut akan menyebahkan ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat.
4. Menjaga Kemaslahatan Individu dan Bersama
Kemaslahatan bagi individu dan masyarakat merupakan hal terpenting dalam kehidupan ekonomi, Hal inilah yang menjadi karakteristik ekonomi Islam, di mana kemaslahatan individu dan bersama harus saling mendukung. Dalam arti, kemaslahatan individu tidak boleh dikorbankan demi kemaslahatan bersama dan sebaliknya. Dalam mewujudkan kemaslahatan kehidupan bersama, negara rnempunyai hak intervensi apahila terjadi eksploitasi atau kezaliman dalam mewujudkan sebuah kemaslahatan. Negara harus bertindak jika terjadi penyimpangan operasional yang merugikan hak-hak kemaslahatan.
Untuk mengatur dan menjaga kemaslahatan masyarakat, diperlukan sehuah instansi yang mendukung. Al-Hisbah merupakan instansi keuangan dalam pemerintahan Islam yang berfungsi sebagai pengawas atas segala kegiatan ekonomi, Lembaga tersebut bertugas untuk mengawasi semua infrastruktur yang terlibat dalam mekanisme pasar. Apabila dalam mekanisme terjadi penyimpangan operasional, maka Al-Hisbah berhak melakukan intervensi. Selain itu Allah mempunyai wewenang untuk mengatur tata letak kegiatan ekonomi disamping diwajibkan untuk  menyediakan semua fasilitas kegiatan ekonomi demi terciptanya kemaslahatan hidup bersama.
Lembaga zakat merupakan sebuah kelaziman bagi terciptanya bangunan ekonomi Islam. Institusi zakat merupakan elemen yang berfungsi untuk menampung dana zakat dan para muzakki (pembayar zakat). Institusi zakat mempunyai otoritas penuh dalam pengelolaan dan pendistribusian dana zakat, di samping mempunyai wewenang untuk menarik zakat dan para muzakki dan berkewajiban untuk mendistribusikannya kepada mustahiq (yang berhak menerima zakat).
Empat karakteristik dasar yang telah diuraikan merupakan elemen utama yang membedakan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi kontemporer. Dan beberapa literatur yang ada, dapat juga ditemukan karakteristik lain sebagai rujukan atau prinsip dasar ekonomi Islam, yaitu:
a. Saling menjaga kemaslahatan bersama dan saling mengasihi satu sama lain. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan penetapan harga yang adil dan upah yang sesuai dengan pekerjaan serta aplikasi konsep shadaqah dan zakat.
b. Mengajak untuk menggunakan uang sebagai medium of exchange (alat tukar) dan bukan sebagai komoditas yang dapat menggiring seseorang terjerumus ke dalam transaksi ribawi. Menciptakan mekanisme pasar yang jauh dan praktik ikhtikar (monopoli), penipuan, dan tindak kezaliman.
c. Mengajak untuk bersama-sama meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi dengan cara bekerja secara profesional dan mendorong bangkitnya sektor produksi. Di samping itu, harus dijauhkan sifat boros dan hermewah mewahan dalam membelanjakan harta.
e. Memprioritaskan kemaslahatan bersama. Tujuan tersebutdapat tercapai dengan rnewajibkan pajak, taksir (penentuan harga), menentukan kaidah berkonsumsi, dan mengelola harta orang safth (yang tidak mengetahui kalkulasi matematis ekonomi) serta menumbuhkan sektor produksi.
PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM
Sistem keuangan dan perbankan Islam merupakan bagian dan konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, di mana tu juannya, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalal-i memberlakukan sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika inilah, maka keuangan dan per bankan Islam bagi kebanyakan Muslim adalah bukan sekadar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi fi nansial itu dipandang oleh banyak kalangan Muslim sebagai ke wajiban agama. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan batas-batas yang digariskan oleh Islam.
Islam berbeda dan agama-agama lainnya, dalam hal itu dilandasi dengan postulat iman dan ibadab. Dalam kehidupan sehari-hari, Islam secara bersarna-sama dapat diterjemahkan ke dalam teori dan juga dapat diinterpretasikan ke dalam praktek tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal ini menjadi subyek yang dipelajari dalam ekonomi Islam sehinga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dan ajaran Islam berbeda dengan ekonomi tradisional. Oleh sebab itu, dalam ekonomi Islam, hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat mewakili atuan ekonomi Islam.
Menurut Metwally, prinsip-prinsip ekonomi Islam itu secara aris besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1)      Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipan dang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
2)      Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu diatasi oleh kepentingan masyarakat, dan kedua. Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
(3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Seorang Muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, pe nerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur’an:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bcztil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kalian…” (QS 4:29).
(4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur’an mengungkapkan bahwa, : “Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dan penduduk negeri- negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang—orang da lam perjalanan, supaya harta itu jangan. hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian…” (QS 57:7).
Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang sa ja. Konsep mi berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis, di mana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali indu stri yang merupakan kepen tingan umum.
(5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api.” Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan, harus dikelola oleh Negara demikian pula keperlan bahan bakar dalam negen dan industri tidak boleh dikuasai aleh individu,
(6) Seorang Muslim harus takut kepada Allah danhari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur’an:
“Dan takutlah pada han sewaktu kamu dikembalikan kepczda Allah, kemudian masing-masing dibenkan hal asan yang sempurna terhadap apa yang telah dilakukan nya. Dan mereka tidak teraniaya…” (QS 2:28 1). Oleh kare na itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perda gangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.
(7) Seorang Muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut  pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (idle assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dan transaksi (net earning from transaction), dan 10% (sepuluh persen) dan pendapatan bersih investasi.
(8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (nba) atas berba gai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dan te man, perusahaan perorangan, pemenintah ataupun institusi la Al Qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal mi dapat dilihat dan turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara berturut-turut sebagai berikut:
Pada tahap pertama dalam Surat (30) Ar Rum ayat 39 Allah berfirman:
“Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridhoan Allah maka itulah oranq-orang yanq melipatgandakan puhalanya.”
Tahap kedua Allah berfirman dalam surah (4) An Nisa’ ayat I 60- 16 1 sebagai berikut:
“Maka disebabkan karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dan jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya telah dila rang dan padanya, dan karena mereka memakan harta ma nusia dengan jalan yang batil. Dan Kami telah menye diakan untuk orang-o rang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Tahap ketiga diturunkan oleh Allah melalui surat (3) Au Imran ayat 130 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Tahap terakhir larangan nba terdapat dalam Surat (2) Al Baqarah ayat 278-279:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa nba, jika kamu orang orang yang beniman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (penintah itu), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aris toteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk praktek bunga. Dalam Perjanjian Lama, larangan riba juga tercantum dalam Leviticus 25:27.
Dalam ekonomi syari’ah, dikotomi sektor moneter dan riil tidak dikenal. Sektor moneter dalam definisi ekonomi Islam adalah mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil, sehingga jika menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik perekonomian Islam adalah perekonomian riil, khususnya perdagangan. Inilah yang dianjurkan Islam, ”Allah menghalalkan jual beli (perdagangan) dan mengharamkan riba”.(QS.2:275). Ayat tersebut secara tegas membolehkan jual-beli atau perdagangan dan mengharamkan riba. Jual beli atau perdagangan adalah kegiatan bisnis sektor riel. Kegiatan bisnis sektor keuangan tanpa dikaitkan dengan sektor riil adalah aktivitas ribawi yang dilarang dalam ekonomi Islam.
Oleh karena keharusan terkaitnya sektor moneter dan sektor riil, maka perbankan syari’ah mengembangkan sistem bagi hasil, jual beli dan sewa. Dalam bagi hasil, terdapat bisnis sektor riil yang dibiayai dengan pembagian keuntungan yang fluktuatif. Demikian pula dalam jual beli, ada sektor riil yang mendasari kebolehan penambahan (ziyadah) dalam harta.
Dalam ekonomi syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang kemudian menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga. Karena sesungguhnya, bagi hasil sebenarnya sesuai dengan iklim usaha yang memiliki kefitrahan untung atau rugi. Tidak seperti karakteristik bunga yang memaksa agar hasil usaha selalu positif. Islam tidak mengenal konsep time value of money, Jadi penerapan sistem bagi hasil pada hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam perekonomian. Karena memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian.
Ekonomi Islam bukan saja menjanjikan kestabilan “moneter” tetapi juga pembangunan sektor riil yang lebih kokoh. Krisis moneter yang telah menjelma menjadi krisis multi dimensi di Indonesia ini, tak dapat diobati dengan varibel yang menjadi sumber krisis sebelumnya, yaitu sistem bunga dan utang, artinya tidak bisa dengan mengutak-atik suku bunga tetapi harus oleh variabel yang jauh dari karakteristik itu, yaitu dengan sistem bagi hasil dalam dunia perbankan dan lembaga finansial lainnya.
Fatwa MUI tentang pelarangan bunga, dalam perspektif ekonomi, adalah sebuah upaya untuk mengobati krisis yang melanda Indonesia sejak 6 tahun terakhir, karena kalau sistem bunga masih dipertahankan, seratusan trilyun uang rakyat yang berasal dari pajak dan kenaikan harga BBM, listrik dan telephon, digunakan untuk kepentingan membayar bunga yang disumbangkan untuk bank-bank raksasa dalam bentuk bunga obligasi, bahkan dalam tiga tahun terakhir, lebih seratus trilyun disumbangkan untuk membayar bunga SBI yang saat itu pernah mencapai 17 % setahun . Padahal dana sebesar itu bisa digunakan untuk pendidikan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan kebutuhan infra-struktur seperti pembangunan jalan-jalan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Karena itulah diusulkan kepada pemerintah agar mendorong mekanisme bagi hasil menjadi dominan dalam sektor keuangan Indonesia, melalui lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah dan Baitul Mal wat Tamwil, agar sektor riel kembali bangkit di Indonesia.

Perbedaan ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional

Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrim, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.

Ciri khas ekonomi syariah

Tidak banyak yang dikemukakan dalam Al Qur’an, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur’an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:
  1. Kesatuan (unity)
  2. Keseimbangan (equilibrium)
  3. Kebebasan (free will)
  4. Tanggungjawab (responsibility)
Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi. Didalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 disebutkan bahwa Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[9]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…
Riba itu ada dua macam:nasiah dan fadhi. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhi ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda dan umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah
PANDANGAN ISLAM TENTANG UANG
Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dan salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai’al muqayyadah), di mana barang saling dipertukar kan. Menurut Afzalur Rahman:
“Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan ke Icmahan-kelernahan sistem pertukaran in lalu beliau ingin unenggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh ka rena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk meng gunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.”
Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata bin Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.
“Ternyata Rasulullah SAW tidak menyetujui transaksi transaksi dengan sistem barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Tampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur riba di dalamnya.”
Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dan system konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta sebagai obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Dalam Islam, uang adalah flow concept, sehingga harus sekilti I)(lj)tl1 ddkim perekonomian. Scrnakin cepat uang berputar dalam per (kollomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian.
Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi-hasil. Bila ia tidak ingin mengambil risiko karena bermusyarakah atau bermudharabah, maka Islam sangat menganjurkan untuk mela kukan yard, yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apa pun, ka rena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah nba.
Secara mikro, qard tidak memberikari manfaat Iangsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal mi disebabkan karena pemberian yard mem buat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan hertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional (national income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Demi kian pula, pengeluaran shadaqah juga akan memberikan man faat yang lebih kurang sama dengan pemberian qard.
Islam juga tidak mengenal konsep time value of money, na mun Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbo lehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi daripada bar ga tunai. Zaid bin Au Zainal Abidin bin Hussein bin Au bin Abi Thalib, cicit Rasulullah SAW, adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (deferred payment) lebih tinggi daripada harga tunai.
Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money. namun karena semata – mata ditahannya hak si penjual barang, Dapat dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp 500, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam Satu hari itu keuntungannya adalab Rp 1.000. Sedangkan bila dijual tangguh bayar, maka hak si penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dan itu, hak dan keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi daripada harga tunai.
Sektor Finaansial Mengikuti Sektor Riil
Dalam konsep ekonomi syari’ah, jumlah uang yang beredar bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi syari’ah, jumlah uang yang beredar ditentukan dalam perekonomian sebagai variabel endogen, yakni ditentukan oleh banyaknya permintaan akan uang di sektor riil. Atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riil. Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis. Di dalam ekonomi kapitalis dengan jelas dipisahkan sektor finansial dengan sektor riil. Maka pengembangan perbankan dan keuangan syariah saat ini jangan terjebak kepada paraktek kapitalisme tersebut. Dengan demikian, apabila ummat Islam Indonesia hanya sibuk mengembangkan sektor perbankan dan keuangan Islam, tanpa membenahi dan menyeimbangkannya dengan pertumbuhan dan pembangunan sektor riil, maka berarti kita telah memperaktekkan sistem kapitalisme, dan hal ini merupakan ancaman kehancuran ekonomi Islam di masa depan.
Bila berpijak pada sejarah dan logika umum, maka tidak mustahil gerakan ekonomi Islam bila tidak segera dilakukan perubahan orientasi akan menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian dan menimbulkan citra negatif bagi ekonomi syari’ah. Dalam kondisi seperti itu, bukan tidak mungkin para pelaku dan tokoh ekonomi Islam akan dipersalahkan oleh banyak pihak. Lebih celaka lagi kalau masyarakat pada akhirnya kehilangan kepercayaan dan kita semua kehilangan kesempatan untuk membuktikan apa yang selama ini kita yakini dan kita kembangkan dengan penuh antusias.
Kini belum terlambat untuk mengubah orientasi gerakan ekonomi Islam menuju keseimbangan. Oleh karena itu, semua pihak, sesuai dengan peran masing-masing dapat melakukan aksi berbagai kegiatan bisnis sektor riil. Kegiatan sektor riil yang bisa dikembangkan cukup banyak antara lain, sektor agribisnis, mini market, konveksi, pabrik segala kebutuhan ummat Islam, seperti pabrik susu, pabrik odol, sabun, shampo dan ratusan jenis kebutuhan masyarakat lainnya. Dalam mengembangkan sektor riil ini, diperlukan kordinasi yang baik dengan semua pihak yang terkait, seperti bank sentral, masyarakat ekonomi syari’ah, bankir syari’ah, para akademisi, pengusaha dan ulama.
Paraahli ekonomi moneter kontemporer menyimpulkan bahwa yang menjadi pemicu terjadinya krisis adalah deviasi dalam sektor keuangan yang memainkan aktivitas spekulasi. Sektor keuangan dalam praktek ini terlepas dari sektor riil. Kekacauan di sektor ini mengakibatkan kekacauan di sektor riil (produksi, perdagangan dan jasa). Harga-harga barang dan jasa naik, bukan karena hukum permintaan dan penawaran (supply and demand), tapi karena suku bunga perbankan naik, tarjadinya depresiasi rupiah atau bahkan karena faktor psikologis seperti yang diakui oleh paa pedagang kecil yang tidak tahu menahu mengapa harga barang naik, akhirnya juga harus ikut menaikkan harga barang dagangannya bila tidak ingin merugi.
Yang paling berat agaknya adalah sektor properti. Karena suku bunga pinjaman naik, banyak proyek properti yang terbengkalai. Terhenti di tengah jalan atau tidak lalu, lantaran pengusaha dan konsumen tak mampu lagi meminjam uang ke bank dengan beban bunga yang cukup tinggi. Akhirnya ratusan ribu buruh dan karyawan sektor properti kehilangan pekerjaan. Ini jelas akan menambah penganguran.
Sementara itu, harga-harga kebutuhan pokok juga ikut merangkak naik Sektor otomotif juga terpukul. Angka penjualan mobil juga terus menurun. Bila bulan Agustus 1997 di awal krisis terjual 43.000 unit mobil dari berbagai merek, maka pada bulan September hanya terjual 35.000 unit. Bulan-bulan berikutnya permintaaan terus semakin menurun. Apalagi pengusaha otomotif dengan terpaksa harus menaikkan harga mobil sekitar 10 %, suatu langkah yang sulit dihindari, karena ongkos produksi dan biaya penyediaan komponen impor terus melonjak seiring meningkatnya nilai dollar.
PIRANTI KEUANGAN/PERBANKAN SYARIAH
Sistem keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik dengan menggunakan prinsip penyertaan dalam rang ka pemenuhan permedalan (equity financing) maupun dengan prinSip pinjaman dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembia yaan (debt financing).
Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuh an tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (profit and loss sharing), sebagai metode pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’) untuk meme nuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing). Bank Islam tidak menggunakan metode pinjam-meminjam uang dalam rangka ke giatan komersial, karena setiap pinjam-meminjam uang yang di lakukan dengan persyaratan atau janji pemberian imbalan ada- lab termasuk nba. Oleh karena itu mekanisme operasional per bankan Syariah dijalankan dengan menggunakan piranti-piranti keuangan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
1. Musyarakah (Joint venture profit sharing)
Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk suatu perusahaan (syirkah al inan) sebagai badan hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian keuntungan atau kerugian proporsional sesuai dengan modal masing-masing
2. Mudharabah (trustee profit sharing) :
Hubungan kontrak bukan antar pemilik modal, tetapi antara penyedia dana (shahibul maal) dan intreprenuer (mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia dana berikut porsi keuntungan yang disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedangkan mudharib akan kehilangan imbalan bagi hasil atas kerja yang dilakukannya .
Terdapat dua tipe mudharabah.
Mudharabah Mutlaqah: Pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.
Mudharabah Muqayyadah: Pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaann dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Prinsip Jual Beli (Al Bai’)
Pengertian jual beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange) antara suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara tangguh (deffered). Jenis Jual beli yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai’ al murabahah, bai’ as salam dan bai’ al istishna’. Bai’ al murabahah adalah akad jual beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang di perjual belikan, termasuk harga pembelian, dan keuntungan yang diambil.
Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan jual beli yang disepakati bersama .Bai’ as salam adalah akad jual beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati.
Dalam teknis perbankan, Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibelidiproduksi dan diserahkan kemudian. Prinsip Sewa dan sewa-beli Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing leasing
Prinsip Qard
Meminjamkan harta keharta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan
Prinsip Wadi’ah (titipan) : Wadi’ah yad amanah  dan  Wadi’ah yad dhamanah
Prinsip lainnya :
a. Prinsip Rahn
b. Prinsip Wakalah
c. Prinsip Kafalah
d. Prinsip Hawalah
e. Prinsip Ju’alah
f. Prinsip Sharf
Selama ini kalau kita berbicara tentang muamalah, terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah itu sendiri, yang menyatakan: “Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu maka boleh dikerjakan.” Tetapi pertanyaan kemudian mengemuka, seperti apakah ekonomi dalam sudut pandang Islam itu sendiri? Bagaimana filosofi dan kerangkanya? Dan bagaimanakah ekonomi Islam yang ideal itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah metodologi dari ekonomi Islam itu sendiri. Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.
Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury (1998), menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra (2000) menjelaskan  bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.
Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ‘Ya’, Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi.
Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan (Tag El Din, 2005). Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.
Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodologi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep shuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya (Al Harran, 1996).  Utilitas yang optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.
ZAKAT
A. DEFINISI ZAKAT
Secara etimologi, zakat memiliki beberapa makna yang di antaranya adalah suci. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS. Asy-Syams: 9). Maksudnya adalah suci dan dosa dan kemaksiatan. Selain itu, zakat bisa bermakna tumbuh dan berkah. Secara syar’i, zakat adalah sedekah tertentu yang diwajibkan dalam syariah terhadap harta orang kaya dan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
B. HUKUM DAN SYARAT WAJIB ZAKAT
Allah mewajibkan zakat kepada setiap Muslim (lelaki dan perempuan) atas hartanya yang telah mencapai nishab. Zakat merupakan instrumen dalam mensucikan harta dengan membayarkan hak orang lain. Selain itu, zakat merupakan mediator  dalam mensucikan diri dan hati dari rasa kikir  dan cinta harta. Dan zakat merupakan instrument social untuk  kebutuhan dasar fakir dan miskin.
Allah Swt berfirman, “Ambillah zakat dan sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkannya dan mensucikan mereka…” (QS. At- Taubah: 103)
Zakat pertama kali diwajibkan, tidak ditentukan kadar dan jumlahnya, tetapi hanya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan fakir dan miskin. Namun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, diberlakukanlah beberapa ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi dalam zakat.
1. Islam
Intelektual Muslim sepakat bahwa zakat merupakan rukun Islam dan hanya diwajibkan untuk umat Islam. Hal tersebut berlandaskan kepada hadits Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman yang diriwayatkan oleh AI-Bukhari. Zakat tidak diwajibkan kepada selain Muslim karena zakat merupakan kewajiban harta dalam Islam yang diambil dan orang kaya untuk diberikan kepada fakir, miskin, ibnu sabil, dan yang membutuhkan lainnya.
Zakat merupakan salah satu bentuk syiar Islam. Malikiyah menambahkan, Islam hanya merupakan syarat sahnya zakat dan bukan merupakan syarat wajib zakat. Zakat tidak diwajibkan kepada selain Muslim karena zakat merupakan bentuk ibadah. Namun bagi non-Muslim bisa diwajibkan pajak sebagai pengganti zakat dalam kerangka menanggung beban sosial masyarakat.
2. Sempurnanya Ahliyah
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat diwajibkan atas harta anak kecil dan orang gila. Namun Hanafiyah berpendapat zakat tidak wajib atas harta mereka kecuali hasil pertanian dan perkebunan. Perbedaan itu muncul dan karakteristik dasar zakat itu sendiri. Sebagian berpendapat bahwa zakat merupakan ibadah mal dan sama halnya dengan shalat ataupun puasa. Karena itu, zakat hanya diwajibkan kepada orang baligh dan berakal, Sebab taklif (kewajiban) ibadah tidak sempurna kecuali dengan baligh dan berakal.
Rasulullah Saw bersabda, “Qalam diangkat oleh Allah dalam tiga perkara: anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Dawud)
Pendapat kedua mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban atas harta yang berhubungan dengan harta seseorang tanpa memandang pemiliknya; baik mempunyai ahliyyali (kecakapan) maupun tidak, dan tidak ada perbedaan bagi orang gila ataupun cerdas. Menurut sebagian besar ulama, pendapat ini merupakan pendapat yang utama. Pendapat ini berdasarkan nash Al-Qur’ an dan hadits yang mewajibkan zakat atas harta orang kaya secara mutlak, tidak ada pengecualian bagi anak kecil dan orang gila. Hal tersebut berdasarkan ayat di atas dan hadits Mu’adz bin Jabal.
3. Sempurnanya Kepemilikan
Kepemilikan muzakki (orang yang wajib zakat) atas harta yang dizakatkan merupakan kepemilikan yang sempurna. Dalam arti, harta tersebut tidak terdapat kepemilikan dan hak orang lain, Dalam hal ini, pemilik merupakan kepemilikan tunggal dan mempunyai kekuasaan penuh untuk melakuka transaksi atas harta terselut.
4. Berkembang
Harta yang merupakan objek zakat harus berkembang. Artinya, harta tersebut mendatangkan income atau tambahan kepada pemiliknya, seperti hasil pertanian, perkebunan, hewan ternak dan lain sehagainya. Rasulullah Saw tidak mewajibkan zakat atas barang yang tidak berkembang (harta yang tidak menambah kekayaan pemiliknya), Beliau hersabda, “Tidak ada kewajiban bagi Muslim atas kuda dan hambanya sebuah zakat.” 52
5. Nishab
Harta yang wajib dizakati harus sampai pada kadar tertentu yang disebut dengan nislwb. Harta yang dimiliki oleh seorang Muslim tidak wajib zakat kecuali te!ah mencapai nishab yang telah ditentukan, seperti unta harus rnencapai 5 ekor, kambing 40 ekor, dan lain sebagainya. Hikmah dan penentuan nishah adalah untuk menunjukan bahwa zakat hanya diwajihkan kepada orang-orang yang rnampu untuk diberikan kepada orang-orang yang memhutuhkan, Rasulullah Saw hersabda, “Tidak ada zakat kecuali hagi orang-orang yang kaya.”
6. Haul
Harta zakat yang telah mencapai nishab harus dalam kepemilikan ahlinya sampai waktu 12 bulan Qamariyah kecuali hasil pertanian, perkehunan, harang tambang, madu dan sejenisnya. Harta-harta tersebut tidak disyararkan adanya haul. Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa tendensi disyaratkannya haul ketika harta tersebut berpotensi dalam produktivitas,
C. DISTR1BUSI ZAKAT
Perbedaan mendasar zakat dengan sumber dana Baitul mal lainnya seperti kharaj dan jizyah adalah zakat didistribusikan kepada golongan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’ an dan sunna Zakat diberikan atas golongan tertentu karena mengandung nilai-nilai ekonomi, sosial, dan spiritual. Tujuan tersebut dapat tercapai jika zakat dialokasikan kepada 8 golongan seperti disebutkan dalam Al-Qur’ an.
Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatin (mualiaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang-orang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Tauhah: 60)
Penetapan terhadap kedelapan golongan tersebut bukan berarti harta zakat wajib dibagikan kepada mereka. Dana zakat boleh dialokasikan kepada delapan golongan tersebut jika dimungkinkan dan memadai. Namun, zakat boleh saja hanya diberikan kepada salah satu dari golongan tersehut. Diriwayatkan dan An-Nasa’ i, “Jika harta zakat banyak dan cukup untuk dibagikan kepada delapan golongan, maka harus dibagikan. Namun, jika tidak memadai boleh diberikan hanya pada satu golongan. Imam Malik berkata, “Zakat hartis diprioritaskan kepada golongan yang paling rnembutuhkan.”
1. Fakir Miskin
Fakir dan miskin merupakan elemen masyarakat yang sangat membutuhkan uluran tangan orang lain, Tujuan utama adanya zakat adaiah untuk menghilangkan kefakiran dan inernenuhi kebutuhan manusia. Karena itu, fakir dan miskin merupakan prioritas utama atas dana zakat. Sebenarnya terdapat perbedaan antara fakir dan miskin. Al.Mawardi menjelaskan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu, sedangkan miskin adalah orang yang mempunyai sesuatu tetapi tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Kondisi fakir lebih buruk dari kondisi miskin.
2. Amil
Amil adalah orang yang bertugas untuk menarik, menyimpan,dan mendistribusikan dana zakat ataupun sebuah lembaga yang bertugas dalam mengelola dana zakat. Amil berhak mendapatkan zakat atas jerih payah yang dilakukan sehagai kompensasi walaupun tergolong mampu. Ulama fiqh mensyaratkan bahwa amil harus seorang Muslim, mempunyai kecakapan, berpengetahuan, dan amanah.
3. Muallaf
Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dan Qathadah bahwa muallaf adalah orang yang hatinya memiliki kecondongan terhadap Islam. Oleh karena itu, diperlukan dorongan dan bantuan agar keimanan dan kecondongannya semakin kuat terhadap Islam. Perlindungan dan bantuan tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan menguarkan keyakinan yang dirniliki seseorang.
4. Hamba Sahaya
Budak merupakan salah satu pilar penopang kehidupan ekonorni dan masyarakat. Dan Islam Jatang untuk menghapus sistem tersebut dan kehidupan. Namun, penghapusan tersebut tidak mungkin dilakukan dengan sekali langkah, karena akan menimbulkan kerusakan bagi kehidupan ekonomi dan social masyanakat. Islam mengupayakan langkah bertahap untuk menghapus sistem budak tersehut, di antaranya konsep mukatabah. Dengan konsep tersebut, seorang budak bisa membeli dirinya sendiri Jan tuannya. Dan hudak mukatabah berhak rnendapatkan bagian dan dana zakat unwk membanni dirinya guna melepaskan dirinya dan status budak,
5. Ghârimin
Ghârim adalah orang yang terlilit utang dan tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Kebangkrutan tersebut muncul dan hasil usahanya dalam menghidupi diri dan menafkahi keluarga. Konsep ini merupakan bagian dan jaminan sosial di antara individu masyarakat. Utang yang diderita oleh ghãrim bisa saja merupakan akibat dan usaha untuk membangun sebuah fasilitas demi kemaslahatan hersama, seperti rumah sakit, madrasah, dan lainnya.
6. Fi Sabilillãh
Fl Sabililláh adalah seorang mujahid yang berangkat perang untuk menegakkan agama Allah. Dalam hal mi termasuk orang-orang yang menuntut ilmu di jalan Allah. Mereka berhak menclapatkan zakat untuk memenuhi kebutuhaii mereka seperti makanan, peralatan perang, atau kehutuhaii lainnya.
7. Ibnu Sabil
lbnu sabil adalah orang yang bepergian dan kehabisan bekal dalam perjalanannya serta bukan untuk bermaksiat kepada Allah. Zakat yang diherikan merupakan bentuk dan kepedulian dan jaminan sosial kemasyarakatan. Pada dan Umar bin Khattab Ra telah didirikan rumah khusus untuk para musafir yang kehabisan bekal, rumah tersebut bernama “Dar ad-Daqiq.” Begitu juga pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
D. PERBEDAAN ZAKAT DENGAN PAJAK
Apakah zakat merupakan bentuk pajak dalam Islam? Bukan, zakat bukanlah merupakan pajak, zakat mempunyai makna tersendiri yang tidak ditemukan dalam pajak. Ahli ekonomi mendefinisikan pajak adalah sebuah kewajiban atas harta yang diwajibkan oleh negara atas standar tertentu yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan ekonomi, sosial, dan politik. Adapun zakat adalah hak tertentu bagi fakir dan miskin serta seluruh penerima zakat atas harta kekayaan. Zakat merupakan kewajiban atas harta seorang Muslim sebagai wujud rasa syukur atas nikmat Allah, merupakan wahana untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan sebuah instrumen untuk mensucikan diri dan harta.
Secara sepintas, zakat dan pajak terdapat persamaan, yaitu sama-sama merupakan kewajiban atas harta yang wajib dibayarkan dan dikeluarkan. Namun, sebenarmya terdapat perhedaan mendasar di antara keduanya yaitu:
1. Perhedaan makna. Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Sedangkan pajak berarti sebuah kewajiban atau tanggungan. Secara psikologis, hal tersebut akan mempunyai dampak tersendiri bagi manusia.
2. Zakat merupakan kewajiban atas harta benda dan merupakan salah satu dan rukun Islam. Zakat dilakukan dalam rangka heribadah dan mendekatkan din kepada Allah serta merupakan mediator untuk bersyukur kepada Allah. Sedangkan pajak merupakan kewajiban terhadap negara yang tidak mempunyai nilai-nilai ibadah dan mendekatkan din kepada Allah. Zakat hanya diwajibkan kepada Muslim, sedangkan pajak diwajibkan kepada selunuh warga masyarakat tanpa memandang keyakinan mereka.
3. Ketentuan kadar dan nishab zakat telah ditentukan serta tidak akan berubah dengan adanya perubahan situasi dan kondisi. Lain halnya dengan pajak yang mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi.
4. Penerima zakat telah ditentukan di dalam Al-Qur’an dan sunnah, sedangkan pajak dikembalikan untuk mencukupi kebutuhan publik. Dan dalam perjalanannya, akan terdapat perbedaan dampak sosial dan ekonomi dalam masyarakat.
5. Hubungan yang terjadi dalam zakat merupakan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Zakat dikeluarkan dalam rangka mewujudkan rasa syukur kepada Allah dan untuk mencari pahala serta ampunan dari-Nya. Adapun dalam pajak, hubungan terhatas pada rakyat dan penguasa. Jika dimungkinkan, rakyat akan mencari jalan untuk bisa terbebas dan pajak dan lain halnya dengan zakat. Inilah yang menunjukan bahwa zakat mempunyai nilai-nilai spiritualisme dan etika dalam kehidupan masyarakat.
E. DAMPAK EKONOMIS APLIKASI ZAKAT
Dalam perkembangannya, zakat dapat menimbulkan dampak bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang telah diketahui, zakat merupakan salah satu instrumen dalam memenuhi kebutuhan fakir dan miskin serta penerima zakat lainnya. Dan dalam implementasinya, zakat mempunyai efek domino dalam kehidupan masyarakat. Di antara dampak yang ada adalah sebagai berikut:
1. Produksi
Dengan adanya zakat, fakir dan miskin dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Seluruh income yang mereka dapatkan dan zakat akan dikonsumsikan untuk memenuhi kebtinihan sekunder mereka. Dengan dernikian, permintaan yang ada dalam pasar akan mengalarni peningkatan, dan seorang  produsen hanis meningkatkan produksi yang dilakukan untuk memenuhi demand yang ada. Sebagai multiplier effect, pendapatan yang diterima akan naik dan investasi yang  dilakukan akan bertambah.
2. Investasi
Dengan diwajihkannya zakat, hal tersehut akan mendorong untuk melakukan investasi. Dengan alasan, jika dia tidak melakukan investasi rnaka dia akan mengalami kerugian finansial, karena harta tersehut ditarik ke dalam zakat setiap tahunnya. “Perdagangkanlah harta anak yatim sehingga tidak dimakan zakat.” Dengan adanya alokasi zakat atas fakir dan miskin, hal tersebut akan menambah pemasukan mereka sehingga konsumsi yang dilakukan akan bertambah. Dan peningkatan konsumsi akan mendorong peningkatan produksi di mana hal tersehut akan mendorong adanya peningkatan investasi.
3. Lapangan Kerja
Ada yang herpendapat bahwa zakat dapat mendorong seseorang untuk hergantung pada orang lain dan bermalas malasan untuk bekerja sehingga akan menainhah angka pengangguran. Pendapat tersebut tidak benar Karena dengan adanya zakat, permintaan akan tenaga kerja semakin bertambah dan akan mengurangi pengangguran. Seperti dijelaskan di atas, zakat akan meningkatkan produksi dan investasi dalam dunia usaha sehingga permintaan tcrhadap karyawan akan bertambah. Dengan adanya zakat, permintaan terhadap tenaga kerja bertamhah dan pengangguran akan berkurang.
4. Pengurangan dan Kesenjangan Sosial
Islam mengakui adanya perbedaan atas tingkat kehidupan dan rezeki masyarakat, ha! tersebut sesuai dengan karakter dasar dan kemampuan manusia. Akan tetapi, perbedaan yang ada bukan berarti membiarkan orang yang kaya semakin kaya dan orang yang miskin semakin jatuh miskin sehingga kesenjangan sosial semakin nampak. Karena itu, diperlukan intervensi untuk meminimalisir keaclaan tersebut. Salah satu instrumen yang berfungsi untuk mengatasi kesenjangan tersebut adalah diwajibkannya zakat bagi orang-orang kaya. Hal tersebut juga dimaksudkan agar harta tidak hanya berputar di sekitar orang orang kaya. Allah Swt berfirman, “Agar liarta itu jangan ltanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS, Al Hasyr: 7)
Dengan adanya kewajiban zakat, kesenjangan sosial yang ada akan berkurang dan peningkatan hidup masyarakat semakin membaik.
5. Pertumbuhan Ekonomi
Zakat menyebabkan meningkatnya pendapatan fakir dan miskin yang pada akhirnya konsumsi yang dilakukan juga akan mengalami peningkatan. Secara teori, dengan adanya peningkatan konsumsi maka sektor produksi dan investasi akan mengalami peningkatan. Dengan demikian, permintaan terhadap tenaga kerja ikut meningkat sehingga pendapatan dan kekayaan masyarakat juga akan mengalami peningkatan. Fenomena tersebut mengindikasikan adanya pertumbuhan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.
Reorientasi Pengembangan Ekonomi Islam
Ketidakseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil syari’ah diIndonesiasaat ini, harus diantisipasi dengan segera. Penekanan gerakan ekonomi Islam hanya berfokus pada pengembangan aspek keuangan (finansial) saja, akan menimbulkan dampak buruk bagi masa depan ekonomi Islam dan ekonomiIndonesia.
Sejarah dan fakta membuktikan betapa kedua ketimpangan kedua sektor ini (sektor finansial dan sektor riel) berpotensi besar mengacau balaukan perekonomian. Dalam konteks global, fenomena itu benar-benar mencemaskan banyak pihak, karena ia dapat mengancam krisis eonomi di berbagai negara. Karena itulah perlu segera dilakukan langkah-langkah menuju orientasi yang seimbang (equilibrium) sesuai dengan kehendak syari’ah, agar perekonomian tidak kacau balau. Jika tidak segera dilakukan perubahan orientasi, gerakan ekonomi Islam di Indonesia akan menghadapi masalah besar.
Fakta kerusakan ekonomi akibat kepincangan itu telah banyak dikritik dan diratapi oleh para ilmuwan ekonomi kontemporer, baik ekonom Barat yang non Muslim maupun para ekonom muslim.
Pakar manajemen barkaliber dunia, Peter Drucker, sebagaimana dikutip Didin Damanhuri, menyebut gejala ketidakseimbangan antara sektor moneter dan sektor riel sebagai decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya kegiatan bisnis spekulatif, sehingga dunia terjangkit penyakit yang bernama ekonomi balon (bubble economy). Disebut dengan balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Begitulah keadaan ekonomi dunia saat ini.
Maraknya “kredit derivatif”, sebagai instrumen keuangan yang dominan pada saat ini, merupakan pemicu kerusakan dan krisis ekonomi global. Menurut data Morgan Stanley, nilai kredit derivatif pada tahun 1998 hanya Rp 500 Trilyun, namun pada Desember 2002 ditaksir sudah mencapai Rp 24.000 Trilyun, suatu kenaikan yang luar biasa, yakni sebesar 47.000 persen atau 4700 kali lipat, hanya dalam empat tahun. Transaksi derivatif ini umumnya tidak begitu difahami oleh umum (awam), bahkan investor sekalipun. Transaksi ini hanya transaksi “maya” (semu) yang dikaitkan dengan aktiva keuangan. Demikian pula transaksi “future trading” seperti forward, yang merupakan spekulasi tentang kejadian di masa yang akan datang, juga sangat laris dipraktekkan dalam bisnis modern.
Perekonomian dunia yang digelembungkan oleh transaksi maya tersebut dilakukan oleh segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London ( 27 %), Tokyo, Hongkong Singapura (25 %) dan Chicago-New York ( 17 %). Transaksi riba yang sangat dominan itu, mencapai 99 persen dibanding transaksi riel yang dianjurkan Islam. Menurut data, diperkirakan transaksi maya di pasar uang dunia mencapai US $ 750 trilyun setahun, sedangkan kegiatan perdagangan dan jasa (sektor riil) hanya US $ 7,5 trilyun saja. Dengan demikian pertumbuhan uang demikian cepat, tapi ia bagaikan gelembung (bubble) saja. Seringkali gelembung ini pecah yang mengakibatkan krisis di mana-mana, termasuk krisisAsia yang hingga kini masih terasa. Islam menolak keras segala macam transaksi maya tersebut. Sebaliknya, Islam mendorong globalisasi dalam arti mengembangkan sektor riil atau perdagangan nasional, regional maupun internasional. Pengembangan sektor riil inilah hendaknya yang menjadi prioritas lembaga perbankan dan asuransi syari’ah diIndonesia.
Saat ini bank dan lembaga keuangan sering kali menciptakan berbagai model transaksi derivatif yang dikaitkan dengan fluktuasi ekonomi global, misalnya kenaikan bunga atau resiko obligasi tidak dibayar yang dapat dijual kepada investor. Untuk resiko kredit tidak dibayar disebut dengan credit swap. Transaksi ini dalam ekonomi syari’ah diharamkan. Kini, dengan banyaknya kritik yang dialamatkan kepada praktek ini dan dampak negatifnya, banyak ekonom Barat yang tersadar dan mengecamnya dengan keras. Warren Buffet dan Rubin, mantan Secretary of Treasury AS berpendapat bahwa transaksi ini dapat meruntuhkan sistem keuangan global.

No comments:

Post a Comment