Ekonomi Islam
KARAKTERISTIK EKONOMI ISLAM
Secara teoritis terdapat tiga aliran
besar dalam system perekonomian : yaitu: sitem kapitalisme, sosialisme,
dan paradigma ekonomi Islam. Dalam operasionalnya, ekonomi Islam
mempunyai karasteristik dan landasan yang berbeda dengan sistem
kapitalisme dan sosialisme.
1.Dialektika Nilai-Nilai Spiritualisme Dan Materialisme
Sistem perekonomian kontemporer hanya
terkonsentrasi terhadap peningkatan utility dan nilai-nilai materialisme
suatu tanpa menyentuh nilai-nilai spiritualisme dan etika kehidupan
masyarakat. Sistem kapitalisme memisahkan intervensi agama dari perbagai
kegiatan dan kebijakan ekonomi, padahal pelaku ekonomi merupakan
penggerak utama bagi perkembangan peradaban dan perekonomian masyarakat.
Akhirnya, kehidupan ekonomi masyarakat terbebas dan koridor agama,
sehingga kebijakan individualah yang berperan dalam pengembangan
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, Dengan demikian, terbentuklah
individu-individu yang bersifat individualistik dan materialistik.
Dalam konsep Karl Marx, agama merupakan
faktor penghambat bagi terciptanya kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi
masyarakat (an obstacle to economic growth).Dalam konsep ekonomi Islam
terdapat dialektika antara nilai-nilai spiritualisme dan materialisme.
Perbagai kegiatan ekonomi, khususnya transaksi harus berdasarkan
keseimbangan dan kedua nilai tersebut. Hal ini menunjukan sebuah konsep
ekonomi yang menekankan nilai-nilai kebersamaan dan kasih sayang di
antara individu masyarakat. Konsep dialektika tersebut juga kita temukan
dalam rukun Islam. Di samping kita diperintahkan untuk mengakui
ke-Esaan Allah Swt, membenarkan risalah Muhammmad Saw dan mengerjakan
shalat, kita juga diperintahkan untuk membayar zakat atas harta kekayaan
yang telah mencapai nisbah. (ketentuan). Karena dalam konsep zakat,
terdapat nilai-nilai spiritualisme dan materialisme, yaitu zakat
merupakan ibadah yang berdimensi social.
Dalam konsep zakat kita temukan suatu
proses pensucian diri dan nilai-nilai kekikiran dan individualistik, di
samping mengandung nilai ibadah. Selain itu, zakat merupakan salah satu
instrumen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta merupakan sumber
dana jaminan sosial. Dengan zakat, kebutuhan pokok masyarakat akan
terpenuhi. Sehingga aggregate demand yang ada tetap terjaga dan dapat
menggairahkan sektor produksi. Melalui konsep zakat, dapat clirasakan
adanya harmonisasi nilai spiritual dan material hagi kesuksesan dalam
kehidupan dunia dan akhirat.
2. Kebebasan Berekonomi
Dalam kerangka merealisasikan konsep
kebebasan individu pada kegiatan ekonomi, kapitalisme menekankan prinsip
persamaan bagi setiap individu masyarakat dalam kegiatan ekonomi secara
bebas untuk meraih kekayaan. Realitasnya, konsep kebebasan tersehut
menimbulkan kerancuan bagi proses distribusi income (pendapatan) dan
kekayaan. Selain itu, sistem tersebut secara otomatis mengklasifikasikan
masyarakat menjadi dua bagian, yaitu pemilik modal dan para pekerja.
Dalam konsep sosialisme, masyarakat tidak mempunyai kebebasan sedikit
pun dalam melakukan kegiatan ekonomi. Kepemilikan individu dihilangkan
dan tidak ada kebebasan untuk melakukan transaksi dalam kesepakatan
perdagangan.
Dalam ekonomi Islam, tidak menafikan
intervensi pemerintah, Kebijakan pemerintah merupakan sebuah keniscayaan
ketika perekonomian dalam kondisi darurat, selama hal itu dibenarkan
secara syar’i. Intervensi harus dilakukan ketika suatu kegiatan ekonomi
berdampak pada kemudharatan bagi kemaslahatan masyarakat. Intervensi
juga harus diterapkan ketika pasar tidak beroperasi secara normal akibat
penyimpangan mekanisme pasar, seperti halnya kebijakan pemerintah dalam
memberantas monopoli (false demand and supply) dan mekanisme pasar.
Maka dan itu, tetap dibenarkan kepemilikan individu dan kebebasan
bertransaksi sepanjang tetap dalam koridor syaniah. Kebebasan tersebut
akan mendorong masyarakat untuk beramal dan berproduksi demi tercapainya
kemaslahatan hidup bermasyarakat.
3. Dualisme Kepemilikan
Hakikatnya, pemilik alam semesta beserta
isinya hanyalah Allah semata. Manusia hanyalah merupakan wakil Allah
dalam rangka memakmurkan dan menyejahterakan bumi. Kepemilikan manusia
merupakan derivasi kepemilikan Allah yang hakiki. Untuk itu, setiap
langkah dan kebijakan ekonomi yang diambil oleh manusia untuk
memakmurkan alam semesta tidak holeh bertentangan dengan ketentuan yang
digariskan oleh Allah Yang Maha Memiliki.
Allah Swt herfirman, “… kepunyaan
Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya;
Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS. Al-Ma’ idah: 17)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan
RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dan hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya (QS. Al-HadId: 7)
Kepemilikan Allah merupakan kepemilikan
murni dan hakiki. Harta yang dimiliki oleh manusia merupakan titipan
yang kelak pasti kembali kepada-Nya. Kendatipun demikian, manusia diberi
kebebasan untuk memberdayakan, mengelola, dan memanfaatkan harta henda
sebagaimana yang telah disyariatkan. Adapun kepemilikan manusia terhadap
sumber daya alam terbagi menjadi kepemilikan individu dan kepemilikan
publik (private and public property),
Ingin menguasai dan memiliki harta
kekayaan, sesuai dengan sifat dasar manusia. Karena itu, syariah Islam
membenarkan kepemilikan individu, tetapi tidak hersifat mutlak. Terlebih
dalam mencari, mengelola, dan membelanjakan harta harus sesuai dengan
nilai-nilai syariah. Tidak holeh menghalalkan segala cara yang merugikan
pihak lain dan dapat mengganggu kemaslahatan bersama.
Allah Swt berfirman, “Dan jika kamu
bertaubat (dan mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak dianiaya.” (QS. Al 279).
Konsep keseimbangan merupakan
karakteristik dasar ekonomi Islam. Karena Allah telah menciptakan segala
sesuatu dengan seimbang. Salah satu wujud keseimbangan kepemilikan
manusia adalah adanya kepemilikan public sebagai penyeimbang kepemilikan
individu, Kepemilikan publik merupakan kepemilikan yang secara asal
telah ditentukan oleh syariah. Asas dan pijakan kepemilikan publik
adalah kemaslahatan bersama. Segala komoditas dan jasa yang dapat
menciptakan ataupun menjaga keseimbangan dan kemaslahatan bersama
merupakan barang publik yang tidak butuh dimiliki secara individu
(public goods). Kepemilikan public goods dapat didelegasikan kepada
pemerintah ataupun instansi lain yang mempunyai nilai-nilai amanah dan
responsibility (tanggung jawab) yang dapat dibenarkan oleh syariah.
Berkenaan dengan kepemilikan publik,
Rasulullah pernah mengindikasikannya dalam sebuah hadits, “Manusia
bersekutu dalam 3 hal: air, padang sahara, dan api.” Penuturan
Rasulullah atas ketiga komoditas di atas, bukan berarti public goods
hanya dibatasi oleh 3 komoditas tersebut. Akan tetapi, makna hadits
tersebut dikontekstualisasikan sesuai dengan perkembangan zaman.
Sebagian ulama berpendapat, penyebutan Rasulullah atas ketiga komoditas
tersebut adalah sebagai contoh dan bukan berupa pembatasan. Dengan
demikian, kita bisa melakukan derivasi atas segala barang yang bersumber
dan ketiga komoditas tersehut. Selain itu, kita juga bisa mengambil
substansi komoditas tersebut dalam mewujudkan kemaslahatan hidup
hersama, sehingga kita mampu metakukan analogi terhadap semua jenis
komoditas dengan tingkat substansi yang sama.
Kepemilikan publik merupakan jenis atau
bentuk komoditas yang herfungsi sebagai elemen kemaslahatan hidup
bersama yang tidak boleh dimiliki oleh individu. Komoditas tersehut
harus dikelola oleh sebuah instansi yang berfungsi menjaga kemaslahatan
hidup bersama “Segala hasil tambang yang menjadi pilar utama
kemaslahatan hidup bersama, seperti air, garam, sulfur, aspal, gift,
minyak, batu bara, dan lain sebagainya, tidak boleh dikuasai oleh
individu yang tujuannya bukan untuk kemaslahatan bersama. Karena hal
tersebut akan menimbulkan kerugian dan kesengsaraan hagi kehidupan
masyarakat.”
Demikian juga dengan tanah pemerintah,
harta wakaf, sumber kekuatan hidrolik, dan sumber-sumber kekuatan
lainnya termasuk dalam kategori public goods yang tidak boleh dimiliki
oleh individu. Hal tersebut dikhawatirkan terjadinya eksploitasi dalam
mendapatkan keuntungan dan komoditas yang dimiliki. Tentunya, hal
tersebut akan menyebahkan ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat.
4. Menjaga Kemaslahatan Individu dan Bersama
Kemaslahatan bagi individu dan masyarakat
merupakan hal terpenting dalam kehidupan ekonomi, Hal inilah yang
menjadi karakteristik ekonomi Islam, di mana kemaslahatan individu dan
bersama harus saling mendukung. Dalam arti, kemaslahatan individu tidak
boleh dikorbankan demi kemaslahatan bersama dan sebaliknya. Dalam
mewujudkan kemaslahatan kehidupan bersama, negara rnempunyai hak
intervensi apahila terjadi eksploitasi atau kezaliman dalam mewujudkan
sebuah kemaslahatan. Negara harus bertindak jika terjadi penyimpangan
operasional yang merugikan hak-hak kemaslahatan.
Untuk mengatur dan menjaga kemaslahatan
masyarakat, diperlukan sehuah instansi yang mendukung. Al-Hisbah
merupakan instansi keuangan dalam pemerintahan Islam yang berfungsi
sebagai pengawas atas segala kegiatan ekonomi, Lembaga tersebut bertugas
untuk mengawasi semua infrastruktur yang terlibat dalam mekanisme
pasar. Apabila dalam mekanisme terjadi penyimpangan operasional, maka
Al-Hisbah berhak melakukan intervensi. Selain itu Allah mempunyai
wewenang untuk mengatur tata letak kegiatan ekonomi disamping diwajibkan
untuk menyediakan semua fasilitas kegiatan ekonomi demi terciptanya
kemaslahatan hidup bersama.
Lembaga zakat merupakan sebuah kelaziman
bagi terciptanya bangunan ekonomi Islam. Institusi zakat merupakan
elemen yang berfungsi untuk menampung dana zakat dan para muzakki
(pembayar zakat). Institusi zakat mempunyai otoritas penuh dalam
pengelolaan dan pendistribusian dana zakat, di samping mempunyai
wewenang untuk menarik zakat dan para muzakki dan berkewajiban untuk
mendistribusikannya kepada mustahiq (yang berhak menerima zakat).
Empat karakteristik dasar yang telah
diuraikan merupakan elemen utama yang membedakan konsep ekonomi Islam
dengan ekonomi kontemporer. Dan beberapa literatur yang ada, dapat juga
ditemukan karakteristik lain sebagai rujukan atau prinsip dasar ekonomi
Islam, yaitu:
a. Saling menjaga kemaslahatan bersama
dan saling mengasihi satu sama lain. Hal tersebut dapat direalisasikan
dengan penetapan harga yang adil dan upah yang sesuai dengan pekerjaan
serta aplikasi konsep shadaqah dan zakat.
b. Mengajak untuk menggunakan uang
sebagai medium of exchange (alat tukar) dan bukan sebagai komoditas yang
dapat menggiring seseorang terjerumus ke dalam transaksi ribawi.
Menciptakan mekanisme pasar yang jauh dan praktik ikhtikar (monopoli),
penipuan, dan tindak kezaliman.
c. Mengajak untuk bersama-sama
meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi dengan cara bekerja
secara profesional dan mendorong bangkitnya sektor produksi. Di samping
itu, harus dijauhkan sifat boros dan hermewah mewahan dalam
membelanjakan harta.
e. Memprioritaskan kemaslahatan bersama.
Tujuan tersebutdapat tercapai dengan rnewajibkan pajak, taksir
(penentuan harga), menentukan kaidah berkonsumsi, dan mengelola harta
orang safth (yang tidak mengetahui kalkulasi matematis ekonomi) serta
menumbuhkan sektor produksi.
PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM
Sistem keuangan dan perbankan Islam
merupakan bagian dan konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, di
mana tu juannya, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalal-i
memberlakukan sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi.
Karena dasar etika inilah, maka keuangan dan per bankan Islam bagi
kebanyakan Muslim adalah bukan sekadar sistem transaksi komersial.
Persepsi Islam dalam transaksi fi nansial itu dipandang oleh banyak
kalangan Muslim sebagai ke wajiban agama. Kemampuan lembaga keuangan
Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat
kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada
persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan
batas-batas yang digariskan oleh Islam.
Islam berbeda dan agama-agama lainnya,
dalam hal itu dilandasi dengan postulat iman dan ibadab. Dalam kehidupan
sehari-hari, Islam secara bersarna-sama dapat diterjemahkan ke dalam
teori dan juga dapat diinterpretasikan ke dalam praktek tentang
bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran Islam,
perilaku individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara
pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber
daya yang ada. Hal ini menjadi subyek yang dipelajari dalam ekonomi
Islam sehinga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dan ajaran Islam
berbeda dengan ekonomi tradisional. Oleh sebab itu, dalam ekonomi Islam,
hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat mewakili atuan ekonomi
Islam.
Menurut Metwally, prinsip-prinsip ekonomi Islam itu secara aris besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Dalam ekonomi Islam, berbagai
jenis sumber daya dipan dang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada
manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin
dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk
diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa
kegiatan tersebut akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
2) Islam mengakui kepemilikan
pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi
dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu diatasi oleh
kepentingan masyarakat, dan kedua. Islam menolak setiap pendapatan yang
diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
(3) Kekuatan penggerak utama ekonomi
Islam adalah kerja sama. Seorang Muslim, apakah ia sebagai pembeli,
penjual, pe nerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus
berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur’an:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bcztil, kecuali dengan
perdagangan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kalian…” (QS
4:29).
(4) Pemilikan kekayaan pribadi harus
berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk
nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur’an
mengungkapkan bahwa, : “Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
sebagai harta rampasan dan penduduk negeri- negeri itu, adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang—orang da lam perjalanan, supaya harta itu jangan. hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian…” (QS 57:7).
Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam
menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang
sa ja. Konsep mi berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis, di mana
kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak
terkecuali indu stri yang merupakan kepen tingan umum.
(5) Islam menjamin kepemilikan
masyarakat, dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang
banyak. Prinsip ini didasari Sunah Rasulullah yang menyatakan bahwa,
“Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api.” Sunnah
Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada
hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan,
harus dikelola oleh Negara demikian pula keperlan bahan bakar dalam
negen dan industri tidak boleh dikuasai aleh individu,
(6) Seorang Muslim harus takut kepada Allah danhari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur’an:
“Dan takutlah pada han sewaktu kamu
dikembalikan kepczda Allah, kemudian masing-masing dibenkan hal asan
yang sempurna terhadap apa yang telah dilakukan nya. Dan mereka tidak
teraniaya…” (QS 2:28 1). Oleh kare na itu Islam mencela keuntungan yang
berlebihan, perda gangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil,
dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.
(7) Seorang Muslim yang kekayaannya
melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat
merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi
atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan
mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan
2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif
(idle assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas,
perak dan permata, pendapatan bersih dan transaksi (net earning from
transaction), dan 10% (sepuluh persen) dan pendapatan bersih investasi.
(8) Islam melarang setiap pembayaran
bunga (nba) atas berba gai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal
dan te man, perusahaan perorangan, pemenintah ataupun institusi la Al
Qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang
bunga. Hal mi dapat dilihat dan turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara
berturut-turut sebagai berikut:
Pada tahap pertama dalam Surat (30) Ar Rum ayat 39 Allah berfirman:
“Dan suatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah di sisi Allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencari keridhoan Allah maka itulah oranq-orang yanq
melipatgandakan puhalanya.”
Tahap kedua Allah berfirman dalam surah (4) An Nisa’ ayat I 60- 16 1 sebagai berikut:
“Maka disebabkan karena kezaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia)
dan jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya telah dila rang dan padanya, dan karena mereka memakan
harta ma nusia dengan jalan yang batil. Dan Kami telah menye diakan
untuk orang-o rang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Tahap ketiga diturunkan oleh Allah melalui surat (3) Au Imran ayat 130 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Tahap terakhir larangan nba terdapat dalam Surat (2) Al Baqarah ayat 278-279:
“Wahai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa nba, jika kamu
orang orang yang beniman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (penintah
itu), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul Nya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya
dan tidak (pula) dianiaya.”
Islam bukanlah satu-satunya agama yang
melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat
bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan
bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aris toteles adalah orang yang
amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk praktek
bunga. Dalam Perjanjian Lama, larangan riba juga tercantum dalam
Leviticus 25:27.
Dalam ekonomi syari’ah, dikotomi sektor
moneter dan riil tidak dikenal. Sektor moneter dalam definisi ekonomi
Islam adalah mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil,
sehingga jika menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik
perekonomian Islam adalah perekonomian riil, khususnya perdagangan.
Inilah yang dianjurkan Islam, ”Allah menghalalkan jual beli (perdagangan) dan mengharamkan riba”.(QS.2:275).
Ayat tersebut secara tegas membolehkan jual-beli atau perdagangan dan
mengharamkan riba. Jual beli atau perdagangan adalah kegiatan bisnis
sektor riel. Kegiatan bisnis sektor keuangan tanpa dikaitkan dengan
sektor riil adalah aktivitas ribawi yang dilarang dalam ekonomi Islam.
Oleh karena keharusan terkaitnya sektor
moneter dan sektor riil, maka perbankan syari’ah mengembangkan sistem
bagi hasil, jual beli dan sewa. Dalam bagi hasil, terdapat bisnis sektor
riil yang dibiayai dengan pembagian keuntungan yang fluktuatif.
Demikian pula dalam jual beli, ada sektor riil yang mendasari kebolehan
penambahan (ziyadah) dalam harta.
Dalam ekonomi syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang
kemudian menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga.
Karena sesungguhnya, bagi hasil sebenarnya sesuai dengan iklim usaha
yang memiliki kefitrahan untung atau rugi. Tidak seperti karakteristik
bunga yang memaksa agar hasil usaha selalu positif. Islam tidak mengenal
konsep time value of money, Jadi penerapan sistem bagi hasil
pada hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam
perekonomian. Karena memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip
keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian.
Ekonomi Islam bukan saja menjanjikan
kestabilan “moneter” tetapi juga pembangunan sektor riil yang lebih
kokoh. Krisis moneter yang telah menjelma menjadi krisis multi dimensi
di Indonesia ini, tak dapat diobati dengan varibel yang menjadi sumber
krisis sebelumnya, yaitu sistem bunga dan utang, artinya tidak bisa
dengan mengutak-atik suku bunga tetapi harus oleh variabel yang jauh
dari karakteristik itu, yaitu dengan sistem bagi hasil dalam dunia
perbankan dan lembaga finansial lainnya.
Fatwa MUI tentang pelarangan bunga, dalam
perspektif ekonomi, adalah sebuah upaya untuk mengobati krisis yang
melanda Indonesia sejak 6 tahun terakhir, karena kalau sistem bunga
masih dipertahankan, seratusan trilyun uang rakyat yang berasal dari
pajak dan kenaikan harga BBM, listrik dan telephon, digunakan untuk
kepentingan membayar bunga yang disumbangkan untuk bank-bank raksasa
dalam bentuk bunga obligasi, bahkan dalam tiga tahun terakhir, lebih
seratus trilyun disumbangkan untuk membayar bunga SBI yang saat itu
pernah mencapai 17 % setahun . Padahal dana sebesar itu bisa digunakan
untuk pendidikan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan kebutuhan
infra-struktur seperti pembangunan jalan-jalan dan kebutuhan-kebutuhan
lainnya.
Karena itulah diusulkan kepada pemerintah
agar mendorong mekanisme bagi hasil menjadi dominan dalam sektor
keuangan Indonesia, melalui lembaga perbankan syari’ah, asuransi
syari’ah, pegadaian syari’ah dan Baitul Mal wat Tamwil, agar sektor riel
kembali bangkit di Indonesia.
Perbedaan ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional
Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi
itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat
individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada
warganya serta komunis yang ekstrim, ekonomi Islam menetapkan bentuk
perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di
transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan
bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan
kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
setiap pelaku usaha.
Ciri khas ekonomi syariah
Tidak banyak yang dikemukakan dalam Al
Qur’an, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena
alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur’an dan Sunnah banyak sekali
membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen
dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi.
Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam
harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku
usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:
- Kesatuan (unity)
- Keseimbangan (equilibrium)
- Kebebasan (free will)
- Tanggungjawab (responsibility)
Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi. Didalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 disebutkan bahwa Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[9].
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…
Riba itu ada dua macam:nasiah dan fadhi.
Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan. Riba fadhi ialah penukaran suatu barang dengan barang yang
sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba
nasiah yang berlipat ganda dan umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah
PANDANGAN ISLAM TENTANG UANG
Pada dasarnya Islam memandang uang hanya
sebagai alat tukar bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh
karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan
transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam
juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena
Rasulullah telah menyadari kelemahan dan salah satu bentuk pertukaran di
zaman dahulu yaitu barter (bai’al muqayyadah), di mana barang saling
dipertukar kan. Menurut Afzalur Rahman:
“Rasulullah saw menyadari akan
kesulitan-kesulitan dan ke Icmahan-kelernahan sistem pertukaran in lalu
beliau ingin unenggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh
ka rena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk meng gunakan
uang dalam transaksi-transaksi mereka.”
Hal ini dapat dijumpai dalam
hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata bin Yasar, Abu
Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.
“Ternyata Rasulullah SAW tidak menyetujui
transaksi transaksi dengan sistem barter, untuk itu dianjurkan
sebaiknya menggunakan uang. Tampaknya beliau melarang bentuk pertukaran
seperti ini karena ada unsur riba di dalamnya.”
Dalam konsep Islam tidak dikenal money
demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan
dan system konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah
menjadikan harta sebagai obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat
sehingga menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif)
dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di
masyarakat.
Dalam Islam, uang adalah flow concept,
sehingga harus sekilti I)(lj)tl1 ddkim perekonomian. Scrnakin cepat uang
berputar dalam per (kollomian, maka akan semakin tinggi tingkat
pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian.
Bagi mereka yang tidak dapat
memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan investasi
dengan prinsip Musyarakah atau Mudharabah, yaitu bisnis dengan
bagi-hasil. Bila ia tidak ingin mengambil risiko karena bermusyarakah
atau bermudharabah, maka Islam sangat menganjurkan untuk mela kukan
yard, yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apa pun, ka rena meminjamkan
uang untuk memperoleh imbalan adalah nba.
Secara mikro, qard tidak memberikari
manfaat Iangsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qard
akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara
keseluruhan. Hal mi disebabkan karena pemberian yard mem buat velocity
of money (percepatan perputaran uang) akan hertambah cepat, yang berarti
bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional
(national income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional,
maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Demi kian
pula, pengeluaran shadaqah juga akan memberikan man faat yang lebih
kurang sama dengan pemberian qard.
Islam juga tidak mengenal konsep time
value of money, na mun Islam mengenal konsep economic value of time yang
artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbo
lehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi daripada bar ga tunai.
Zaid bin Au Zainal Abidin bin Hussein bin Au bin Abi Thalib, cicit
Rasulullah SAW, adalah orang yang pertama kali menjelaskan
diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (deferred payment) lebih
tinggi daripada harga tunai.
Yang lebih menarik adalah bahwa
dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali
bukan disebabkan time value of money. namun karena semata – mata
ditahannya hak si penjual barang, Dapat dijelaskan di sini bahwa bila
barang dijual tunai dengan untung Rp 500, maka si penjual dapat membeli
lagi dan menjual lagi sehingga dalam Satu hari itu keuntungannya adalab
Rp 1.000. Sedangkan bila dijual tangguh bayar, maka hak si penjual
menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual
lagi. Akibat lebih jauh dan itu, hak dan keluarga dan anak si penjual
untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan
inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya
(menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh
lebih tinggi daripada harga tunai.
Sektor Finaansial Mengikuti Sektor Riil
Dalam konsep ekonomi syari’ah, jumlah
uang yang beredar bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja
oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi syari’ah, jumlah
uang yang beredar ditentukan dalam perekonomian sebagai variabel
endogen, yakni ditentukan oleh banyaknya permintaan akan uang di sektor
riil. Atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya
dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial
mengikuti pertumbuhan sektor riil. Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam
dengan ekonomi kapitalis. Di dalam ekonomi kapitalis dengan jelas
dipisahkan sektor finansial dengan sektor riil. Maka pengembangan
perbankan dan keuangan syariah saat ini jangan terjebak kepada paraktek
kapitalisme tersebut. Dengan demikian, apabila ummat Islam Indonesia
hanya sibuk mengembangkan sektor perbankan dan keuangan Islam, tanpa
membenahi dan menyeimbangkannya dengan pertumbuhan dan pembangunan
sektor riil, maka berarti kita telah memperaktekkan sistem kapitalisme,
dan hal ini merupakan ancaman kehancuran ekonomi Islam di masa depan.
Bila berpijak pada sejarah dan logika
umum, maka tidak mustahil gerakan ekonomi Islam bila tidak segera
dilakukan perubahan orientasi akan menimbulkan dampak buruk bagi
perekonomian dan menimbulkan citra negatif bagi ekonomi syari’ah. Dalam
kondisi seperti itu, bukan tidak mungkin para pelaku dan tokoh ekonomi
Islam akan dipersalahkan oleh banyak pihak. Lebih celaka lagi kalau
masyarakat pada akhirnya kehilangan kepercayaan dan kita semua
kehilangan kesempatan untuk membuktikan apa yang selama ini kita yakini
dan kita kembangkan dengan penuh antusias.
Kini belum terlambat untuk mengubah
orientasi gerakan ekonomi Islam menuju keseimbangan. Oleh karena itu,
semua pihak, sesuai dengan peran masing-masing dapat melakukan aksi
berbagai kegiatan bisnis sektor riil. Kegiatan sektor riil yang bisa
dikembangkan cukup banyak antara lain, sektor agribisnis, mini market,
konveksi, pabrik segala kebutuhan ummat Islam, seperti pabrik susu,
pabrik odol, sabun, shampo dan ratusan jenis kebutuhan masyarakat
lainnya. Dalam mengembangkan sektor riil ini, diperlukan kordinasi yang
baik dengan semua pihak yang terkait, seperti bank sentral, masyarakat
ekonomi syari’ah, bankir syari’ah, para akademisi, pengusaha dan ulama.
Paraahli ekonomi moneter kontemporer
menyimpulkan bahwa yang menjadi pemicu terjadinya krisis adalah deviasi
dalam sektor keuangan yang memainkan aktivitas spekulasi. Sektor
keuangan dalam praktek ini terlepas dari sektor riil. Kekacauan di
sektor ini mengakibatkan kekacauan di sektor riil (produksi, perdagangan
dan jasa). Harga-harga barang dan jasa naik, bukan karena hukum
permintaan dan penawaran (supply and demand), tapi karena suku
bunga perbankan naik, tarjadinya depresiasi rupiah atau bahkan karena
faktor psikologis seperti yang diakui oleh paa pedagang kecil yang tidak
tahu menahu mengapa harga barang naik, akhirnya juga harus ikut
menaikkan harga barang dagangannya bila tidak ingin merugi.
Yang paling berat agaknya adalah sektor
properti. Karena suku bunga pinjaman naik, banyak proyek properti yang
terbengkalai. Terhenti di tengah jalan atau tidak lalu, lantaran
pengusaha dan konsumen tak mampu lagi meminjam uang ke bank dengan beban
bunga yang cukup tinggi. Akhirnya ratusan ribu buruh dan karyawan
sektor properti kehilangan pekerjaan. Ini jelas akan menambah
penganguran.
Sementara itu, harga-harga kebutuhan
pokok juga ikut merangkak naik Sektor otomotif juga terpukul. Angka
penjualan mobil juga terus menurun. Bila bulan Agustus 1997 di awal
krisis terjual 43.000 unit mobil dari berbagai merek, maka pada bulan
September hanya terjual 35.000 unit. Bulan-bulan berikutnya permintaaan
terus semakin menurun. Apalagi pengusaha otomotif dengan terpaksa harus
menaikkan harga mobil sekitar 10 %, suatu langkah yang sulit dihindari,
karena ongkos produksi dan biaya penyediaan komponen impor terus
melonjak seiring meningkatnya nilai dollar.
PIRANTI KEUANGAN/PERBANKAN SYARIAH
Sistem keuangan dan perbankan modern
telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya,
bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik
dengan menggunakan prinsip penyertaan dalam rang ka pemenuhan permedalan
(equity financing) maupun dengan prinSip pinjaman dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pembia yaan (debt financing).
Islam mempunyai hukum sendiri untuk
memenuhi kebutuh an tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (profit
and loss sharing), sebagai metode pemenuhan kebutuhan permodalan
(equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’) untuk meme nuhi
kebutuhan pembiayaan (debt financing). Bank Islam tidak menggunakan
metode pinjam-meminjam uang dalam rangka ke giatan komersial, karena
setiap pinjam-meminjam uang yang di lakukan dengan persyaratan atau
janji pemberian imbalan ada- lab termasuk nba. Oleh karena itu mekanisme
operasional per bankan Syariah dijalankan dengan menggunakan
piranti-piranti keuangan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
1. Musyarakah (Joint venture profit sharing)
Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih
(termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat
mengumpulkan modal mereka untuk membentuk suatu perusahaan (syirkah al
inan) sebagai badan hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian
secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai
hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk
pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian keuntungan atau
kerugian proporsional sesuai dengan modal masing-masing
2. Mudharabah (trustee profit sharing) :
Hubungan kontrak bukan antar pemilik
modal, tetapi antara penyedia dana (shahibul maal) dan intreprenuer
(mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib memperoleh modal
dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Jika
proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada
penyedia dana berikut porsi keuntungan yang disetujui sebelumnya. Bila
terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal.
Sedangkan mudharib akan kehilangan imbalan bagi hasil atas kerja yang
dilakukannya .
Terdapat dua tipe mudharabah.
Mudharabah Mutlaqah: Pemilik dana
memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana
tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.
Mudharabah Muqayyadah: Pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaann dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Mudharabah Muqayyadah: Pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaann dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
Prinsip Jual Beli (Al Bai’)
Pengertian jual beli meliputi berbagai
akad pertukaran (exchange) antara suatu barang dan jasa dalam jumlah
tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga
barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry)
ataupun secara tangguh (deffered). Jenis Jual beli yang lazim digunakan
sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip
bai’ al murabahah, bai’ as salam dan bai’ al istishna’. Bai’ al
murabahah adalah akad jual beli barang tertentu. Dalam transaksi
jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang di
perjual belikan, termasuk harga pembelian, dan keuntungan yang diambil.
Dalam teknis perbankan, murabahah adalah
akad jual beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan
nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan
jual beli yang disepakati bersama .Bai’ as salam adalah akad jual beli
di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang
disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu
diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati.
Dalam teknis perbankan, Bai’ al istishna’
hampir sama dengan bai’ as salam, yaitu kontrak jual beli dimana harga
atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai
jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang
dibelidiproduksi dan diserahkan kemudian. Prinsip Sewa dan sewa-beli
Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan
financing leasing
Prinsip Qard
Meminjamkan harta keharta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan
Prinsip Wadi’ah (titipan) : Wadi’ah yad amanah dan Wadi’ah yad dhamanah
Prinsip lainnya :
a. Prinsip Rahn
b. Prinsip Wakalah
c. Prinsip Kafalah
d. Prinsip Hawalah
e. Prinsip Ju’alah
f. Prinsip Sharf
Selama ini kalau kita berbicara tentang muamalah,
terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah itu
sendiri, yang menyatakan: “Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu
maka boleh dikerjakan.” Tetapi pertanyaan kemudian mengemuka, seperti
apakah ekonomi dalam sudut pandang Islam itu sendiri? Bagaimana filosofi
dan kerangkanya? Dan bagaimanakah ekonomi Islam yang ideal itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, maka sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah metodologi
dari ekonomi Islam itu sendiri. Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan
bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama
adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid.
Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah
dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua
adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam
Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan
dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science.
Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep
Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga
pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.
Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury (1998), menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam
menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme
yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan,
karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga
terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?
Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut,
Umar Chapra (2000) menjelaskan bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi,
yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang
sesuatu permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan
idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang
permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun
kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang
selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya.
Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.
Lalu apa hubungannya kedua aliran
tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah
akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang
bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam
akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena
itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ‘Ya’, Islam
dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi.
Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud
manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika
berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan (Tag El Din,
2005). Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta
manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang
diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita.
Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah
zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.
Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari
ekonomi Islam didasari oleh tiga metodologi dari Muhammad Anas Zarqa,
yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta
penerapan konsep shuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah
ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu
harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan
kualitas sumber daya manusianya (Al Harran, 1996). Utilitas yang
optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi
acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu semangat untuk memiliki
etika dan perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada
seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat
benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan
keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.
ZAKAT
A. DEFINISI ZAKAT
Secara etimologi, zakat memiliki beberapa
makna yang di antaranya adalah suci. “Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu.” (QS. Asy-Syams: 9). Maksudnya adalah suci dan
dosa dan kemaksiatan. Selain itu, zakat bisa bermakna tumbuh dan
berkah. Secara syar’i, zakat adalah sedekah tertentu yang diwajibkan
dalam syariah terhadap harta orang kaya dan diberikan kepada orang yang
berhak menerimanya.
B. HUKUM DAN SYARAT WAJIB ZAKAT
Allah mewajibkan zakat kepada setiap
Muslim (lelaki dan perempuan) atas hartanya yang telah mencapai nishab.
Zakat merupakan instrumen dalam mensucikan harta dengan membayarkan hak
orang lain. Selain itu, zakat merupakan mediator dalam mensucikan diri
dan hati dari rasa kikir dan cinta harta. Dan zakat merupakan
instrument social untuk kebutuhan dasar fakir dan miskin.
Allah Swt berfirman, “Ambillah zakat dan
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkannya dan
mensucikan mereka…” (QS. At- Taubah: 103)
Zakat pertama kali diwajibkan, tidak
ditentukan kadar dan jumlahnya, tetapi hanya diwajibkan untuk memenuhi
kebutuhan fakir dan miskin. Namun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah,
diberlakukanlah beberapa ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi dalam
zakat.
1. Islam
Intelektual Muslim sepakat bahwa zakat
merupakan rukun Islam dan hanya diwajibkan untuk umat Islam. Hal
tersebut berlandaskan kepada hadits Muadz bin Jabal ketika diutus ke
Yaman yang diriwayatkan oleh AI-Bukhari. Zakat tidak diwajibkan kepada
selain Muslim karena zakat merupakan kewajiban harta dalam Islam yang
diambil dan orang kaya untuk diberikan kepada fakir, miskin, ibnu sabil,
dan yang membutuhkan lainnya.
Zakat merupakan salah satu bentuk syiar
Islam. Malikiyah menambahkan, Islam hanya merupakan syarat sahnya zakat
dan bukan merupakan syarat wajib zakat. Zakat tidak diwajibkan kepada
selain Muslim karena zakat merupakan bentuk ibadah. Namun bagi
non-Muslim bisa diwajibkan pajak sebagai pengganti zakat dalam kerangka
menanggung beban sosial masyarakat.
2. Sempurnanya Ahliyah
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat
diwajibkan atas harta anak kecil dan orang gila. Namun Hanafiyah
berpendapat zakat tidak wajib atas harta mereka kecuali hasil pertanian
dan perkebunan. Perbedaan itu muncul dan karakteristik dasar zakat itu
sendiri. Sebagian berpendapat bahwa zakat merupakan ibadah mal dan sama
halnya dengan shalat ataupun puasa. Karena itu, zakat hanya diwajibkan
kepada orang baligh dan berakal, Sebab taklif (kewajiban) ibadah tidak
sempurna kecuali dengan baligh dan berakal.
Rasulullah Saw bersabda, “Qalam
diangkat oleh Allah dalam tiga perkara: anak kecil hingga baligh, orang
tidur hingga bangun, dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. Al-Bukhari,
At-Tirmidzi, Abu Dawud)
Pendapat kedua mengatakan bahwa zakat
merupakan kewajiban atas harta yang berhubungan dengan harta seseorang
tanpa memandang pemiliknya; baik mempunyai ahliyyali (kecakapan) maupun
tidak, dan tidak ada perbedaan bagi orang gila ataupun cerdas. Menurut
sebagian besar ulama, pendapat ini merupakan pendapat yang utama.
Pendapat ini berdasarkan nash Al-Qur’ an dan hadits yang mewajibkan
zakat atas harta orang kaya secara mutlak, tidak ada pengecualian bagi
anak kecil dan orang gila. Hal tersebut berdasarkan ayat di atas dan
hadits Mu’adz bin Jabal.
3. Sempurnanya Kepemilikan
Kepemilikan muzakki (orang yang wajib
zakat) atas harta yang dizakatkan merupakan kepemilikan yang sempurna.
Dalam arti, harta tersebut tidak terdapat kepemilikan dan hak orang
lain, Dalam hal ini, pemilik merupakan kepemilikan tunggal dan mempunyai
kekuasaan penuh untuk melakuka transaksi atas harta terselut.
4. Berkembang
Harta yang merupakan objek zakat harus
berkembang. Artinya, harta tersebut mendatangkan income atau tambahan
kepada pemiliknya, seperti hasil pertanian, perkebunan, hewan ternak dan
lain sehagainya. Rasulullah Saw tidak mewajibkan zakat atas barang yang
tidak berkembang (harta yang tidak menambah kekayaan pemiliknya),
Beliau hersabda, “Tidak ada kewajiban bagi Muslim atas kuda dan hambanya
sebuah zakat.” 52
5. Nishab
Harta yang wajib dizakati harus sampai
pada kadar tertentu yang disebut dengan nislwb. Harta yang dimiliki oleh
seorang Muslim tidak wajib zakat kecuali te!ah mencapai nishab yang
telah ditentukan, seperti unta harus rnencapai 5 ekor, kambing 40 ekor,
dan lain sebagainya. Hikmah dan penentuan nishah adalah untuk menunjukan
bahwa zakat hanya diwajihkan kepada orang-orang yang rnampu untuk
diberikan kepada orang-orang yang memhutuhkan, Rasulullah Saw hersabda,
“Tidak ada zakat kecuali hagi orang-orang yang kaya.”
6. Haul
Harta zakat yang telah mencapai nishab
harus dalam kepemilikan ahlinya sampai waktu 12 bulan Qamariyah kecuali
hasil pertanian, perkehunan, harang tambang, madu dan sejenisnya.
Harta-harta tersebut tidak disyararkan adanya haul. Ibnu Qudamah
menjelaskan bahwa tendensi disyaratkannya haul ketika harta tersebut
berpotensi dalam produktivitas,
C. DISTR1BUSI ZAKAT
Perbedaan mendasar zakat dengan sumber
dana Baitul mal lainnya seperti kharaj dan jizyah adalah zakat
didistribusikan kepada golongan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’ an
dan sunna Zakat diberikan atas golongan tertentu karena mengandung
nilai-nilai ekonomi, sosial, dan spiritual. Tujuan tersebut dapat
tercapai jika zakat dialokasikan kepada 8 golongan seperti disebutkan
dalam Al-Qur’ an.
Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil
zakat, yang dilunakkan hatin (mualiaf), untuk memerdekakan hamba sahaya,
untuk membebaskan orang-orang berutang, untuk jalan Allah dan untuk
orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Tauhah: 60)
Penetapan terhadap kedelapan golongan
tersebut bukan berarti harta zakat wajib dibagikan kepada mereka. Dana
zakat boleh dialokasikan kepada delapan golongan tersebut jika
dimungkinkan dan memadai. Namun, zakat boleh saja hanya diberikan kepada
salah satu dari golongan tersehut. Diriwayatkan dan An-Nasa’ i, “Jika
harta zakat banyak dan cukup untuk dibagikan kepada delapan golongan,
maka harus dibagikan. Namun, jika tidak memadai boleh diberikan hanya
pada satu golongan. Imam Malik berkata, “Zakat hartis diprioritaskan
kepada golongan yang paling rnembutuhkan.”
1. Fakir Miskin
Fakir dan miskin merupakan elemen
masyarakat yang sangat membutuhkan uluran tangan orang lain, Tujuan
utama adanya zakat adaiah untuk menghilangkan kefakiran dan inernenuhi
kebutuhan manusia. Karena itu, fakir dan miskin merupakan prioritas
utama atas dana zakat. Sebenarnya terdapat perbedaan antara fakir dan
miskin. Al.Mawardi menjelaskan bahwa fakir adalah orang yang tidak
mempunyai sesuatu, sedangkan miskin adalah orang yang mempunyai sesuatu
tetapi tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Kondisi fakir lebih
buruk dari kondisi miskin.
2. Amil
Amil adalah orang yang bertugas untuk
menarik, menyimpan,dan mendistribusikan dana zakat ataupun sebuah
lembaga yang bertugas dalam mengelola dana zakat. Amil berhak
mendapatkan zakat atas jerih payah yang dilakukan sehagai kompensasi
walaupun tergolong mampu. Ulama fiqh mensyaratkan bahwa amil harus
seorang Muslim, mempunyai kecakapan, berpengetahuan, dan amanah.
3. Muallaf
Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dan
Qathadah bahwa muallaf adalah orang yang hatinya memiliki kecondongan
terhadap Islam. Oleh karena itu, diperlukan dorongan dan bantuan agar
keimanan dan kecondongannya semakin kuat terhadap Islam. Perlindungan
dan bantuan tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan menguarkan keyakinan
yang dirniliki seseorang.
4. Hamba Sahaya
Budak merupakan salah satu pilar penopang
kehidupan ekonorni dan masyarakat. Dan Islam Jatang untuk menghapus
sistem tersebut dan kehidupan. Namun, penghapusan tersebut tidak mungkin
dilakukan dengan sekali langkah, karena akan menimbulkan kerusakan bagi
kehidupan ekonomi dan social masyanakat. Islam mengupayakan langkah
bertahap untuk menghapus sistem budak tersehut, di antaranya konsep
mukatabah. Dengan konsep tersebut, seorang budak bisa membeli dirinya
sendiri Jan tuannya. Dan hudak mukatabah berhak rnendapatkan bagian dan
dana zakat unwk membanni dirinya guna melepaskan dirinya dan status
budak,
5. Ghârimin
Ghârim adalah orang yang terlilit utang
dan tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Kebangkrutan tersebut
muncul dan hasil usahanya dalam menghidupi diri dan menafkahi keluarga.
Konsep ini merupakan bagian dan jaminan sosial di antara individu
masyarakat. Utang yang diderita oleh ghãrim bisa saja merupakan akibat
dan usaha untuk membangun sebuah fasilitas demi kemaslahatan hersama,
seperti rumah sakit, madrasah, dan lainnya.
6. Fi Sabilillãh
Fl Sabililláh adalah seorang mujahid yang
berangkat perang untuk menegakkan agama Allah. Dalam hal mi termasuk
orang-orang yang menuntut ilmu di jalan Allah. Mereka berhak
menclapatkan zakat untuk memenuhi kebutuhaii mereka seperti makanan,
peralatan perang, atau kehutuhaii lainnya.
7. Ibnu Sabil
lbnu sabil adalah orang yang bepergian
dan kehabisan bekal dalam perjalanannya serta bukan untuk bermaksiat
kepada Allah. Zakat yang diherikan merupakan bentuk dan kepedulian dan
jaminan sosial kemasyarakatan. Pada dan Umar bin Khattab Ra telah
didirikan rumah khusus untuk para musafir yang kehabisan bekal, rumah
tersebut bernama “Dar ad-Daqiq.” Begitu juga pada masa kekhalifahan Umar
bin Abdul Aziz.
D. PERBEDAAN ZAKAT DENGAN PAJAK
Apakah zakat merupakan bentuk pajak dalam
Islam? Bukan, zakat bukanlah merupakan pajak, zakat mempunyai makna
tersendiri yang tidak ditemukan dalam pajak. Ahli ekonomi mendefinisikan
pajak adalah sebuah kewajiban atas harta yang diwajibkan oleh negara
atas standar tertentu yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan ekonomi,
sosial, dan politik. Adapun zakat adalah hak tertentu bagi fakir dan
miskin serta seluruh penerima zakat atas harta kekayaan. Zakat merupakan
kewajiban atas harta seorang Muslim sebagai wujud rasa syukur atas
nikmat Allah, merupakan wahana untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan
sebuah instrumen untuk mensucikan diri dan harta.
Secara sepintas, zakat dan pajak terdapat
persamaan, yaitu sama-sama merupakan kewajiban atas harta yang wajib
dibayarkan dan dikeluarkan. Namun, sebenarmya terdapat perhedaan
mendasar di antara keduanya yaitu:
1. Perhedaan makna. Secara bahasa zakat
berarti suci, berkembang, dan berkah. Sedangkan pajak berarti sebuah
kewajiban atau tanggungan. Secara psikologis, hal tersebut akan
mempunyai dampak tersendiri bagi manusia.
2. Zakat merupakan kewajiban atas harta
benda dan merupakan salah satu dan rukun Islam. Zakat dilakukan dalam
rangka heribadah dan mendekatkan din kepada Allah serta merupakan
mediator untuk bersyukur kepada Allah. Sedangkan pajak merupakan
kewajiban terhadap negara yang tidak mempunyai nilai-nilai ibadah dan
mendekatkan din kepada Allah. Zakat hanya diwajibkan kepada Muslim,
sedangkan pajak diwajibkan kepada selunuh warga masyarakat tanpa
memandang keyakinan mereka.
3. Ketentuan kadar dan nishab zakat telah
ditentukan serta tidak akan berubah dengan adanya perubahan situasi dan
kondisi. Lain halnya dengan pajak yang mengalami perubahan sesuai
dengan situasi dan kondisi.
4. Penerima zakat telah ditentukan di
dalam Al-Qur’an dan sunnah, sedangkan pajak dikembalikan untuk mencukupi
kebutuhan publik. Dan dalam perjalanannya, akan terdapat perbedaan
dampak sosial dan ekonomi dalam masyarakat.
5. Hubungan yang terjadi dalam zakat
merupakan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Zakat
dikeluarkan dalam rangka mewujudkan rasa syukur kepada Allah dan untuk
mencari pahala serta ampunan dari-Nya. Adapun dalam pajak, hubungan
terhatas pada rakyat dan penguasa. Jika dimungkinkan, rakyat akan
mencari jalan untuk bisa terbebas dan pajak dan lain halnya dengan
zakat. Inilah yang menunjukan bahwa zakat mempunyai nilai-nilai
spiritualisme dan etika dalam kehidupan masyarakat.
E. DAMPAK EKONOMIS APLIKASI ZAKAT
Dalam perkembangannya, zakat dapat
menimbulkan dampak bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Sebagaimana
yang telah diketahui, zakat merupakan salah satu instrumen dalam
memenuhi kebutuhan fakir dan miskin serta penerima zakat lainnya. Dan
dalam implementasinya, zakat mempunyai efek domino dalam kehidupan
masyarakat. Di antara dampak yang ada adalah sebagai berikut:
1. Produksi
Dengan adanya zakat, fakir dan miskin
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Seluruh income yang mereka dapatkan
dan zakat akan dikonsumsikan untuk memenuhi kebtinihan sekunder mereka.
Dengan dernikian, permintaan yang ada dalam pasar akan mengalarni
peningkatan, dan seorang produsen hanis meningkatkan produksi yang
dilakukan untuk memenuhi demand yang ada. Sebagai multiplier effect,
pendapatan yang diterima akan naik dan investasi yang dilakukan akan
bertambah.
2. Investasi
Dengan diwajihkannya zakat, hal tersehut
akan mendorong untuk melakukan investasi. Dengan alasan, jika dia tidak
melakukan investasi rnaka dia akan mengalami kerugian finansial, karena
harta tersehut ditarik ke dalam zakat setiap tahunnya. “Perdagangkanlah
harta anak yatim sehingga tidak dimakan zakat.” Dengan adanya alokasi
zakat atas fakir dan miskin, hal tersebut akan menambah pemasukan mereka
sehingga konsumsi yang dilakukan akan bertambah. Dan peningkatan
konsumsi akan mendorong peningkatan produksi di mana hal tersehut akan
mendorong adanya peningkatan investasi.
3. Lapangan Kerja
Ada yang herpendapat bahwa zakat dapat
mendorong seseorang untuk hergantung pada orang lain dan bermalas
malasan untuk bekerja sehingga akan menainhah angka pengangguran.
Pendapat tersebut tidak benar Karena dengan adanya zakat, permintaan
akan tenaga kerja semakin bertambah dan akan mengurangi pengangguran.
Seperti dijelaskan di atas, zakat akan meningkatkan produksi dan
investasi dalam dunia usaha sehingga permintaan tcrhadap karyawan akan
bertambah. Dengan adanya zakat, permintaan terhadap tenaga kerja
bertamhah dan pengangguran akan berkurang.
4. Pengurangan dan Kesenjangan Sosial
Islam mengakui adanya perbedaan atas
tingkat kehidupan dan rezeki masyarakat, ha! tersebut sesuai dengan
karakter dasar dan kemampuan manusia. Akan tetapi, perbedaan yang ada
bukan berarti membiarkan orang yang kaya semakin kaya dan orang yang
miskin semakin jatuh miskin sehingga kesenjangan sosial semakin nampak.
Karena itu, diperlukan intervensi untuk meminimalisir keaclaan tersebut.
Salah satu instrumen yang berfungsi untuk mengatasi kesenjangan
tersebut adalah diwajibkannya zakat bagi orang-orang kaya. Hal tersebut
juga dimaksudkan agar harta tidak hanya berputar di sekitar orang orang
kaya. Allah Swt berfirman, “Agar liarta itu jangan ltanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS, Al Hasyr: 7)
Dengan adanya kewajiban zakat, kesenjangan sosial yang ada akan berkurang dan peningkatan hidup masyarakat semakin membaik.
5. Pertumbuhan Ekonomi
Zakat menyebabkan meningkatnya pendapatan
fakir dan miskin yang pada akhirnya konsumsi yang dilakukan juga akan
mengalami peningkatan. Secara teori, dengan adanya peningkatan konsumsi
maka sektor produksi dan investasi akan mengalami peningkatan. Dengan
demikian, permintaan terhadap tenaga kerja ikut meningkat sehingga
pendapatan dan kekayaan masyarakat juga akan mengalami peningkatan.
Fenomena tersebut mengindikasikan adanya pertumbuhan kehidupan ekonomi
dan sosial masyarakat.
Reorientasi Pengembangan Ekonomi Islam
Ketidakseimbangan antara sektor keuangan
dan sektor riil syari’ah diIndonesiasaat ini, harus diantisipasi dengan
segera. Penekanan gerakan ekonomi Islam hanya berfokus pada pengembangan
aspek keuangan (finansial) saja, akan menimbulkan dampak buruk bagi
masa depan ekonomi Islam dan ekonomiIndonesia.
Sejarah dan fakta membuktikan betapa
kedua ketimpangan kedua sektor ini (sektor finansial dan sektor riel)
berpotensi besar mengacau balaukan perekonomian. Dalam konteks global,
fenomena itu benar-benar mencemaskan banyak pihak, karena ia dapat
mengancam krisis eonomi di berbagai negara. Karena itulah perlu segera
dilakukan langkah-langkah menuju orientasi yang seimbang (equilibrium)
sesuai dengan kehendak syari’ah, agar perekonomian tidak kacau balau.
Jika tidak segera dilakukan perubahan orientasi, gerakan ekonomi Islam
di Indonesia akan menghadapi masalah besar.
Fakta kerusakan ekonomi akibat
kepincangan itu telah banyak dikritik dan diratapi oleh para ilmuwan
ekonomi kontemporer, baik ekonom Barat yang non Muslim maupun para
ekonom muslim.
Pakar manajemen barkaliber dunia, Peter
Drucker, sebagaimana dikutip Didin Damanhuri, menyebut gejala
ketidakseimbangan antara sektor moneter dan sektor riel sebagai decopling,
yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan
arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh
maraknya kegiatan bisnis spekulatif, sehingga dunia terjangkit penyakit
yang bernama ekonomi balon (bubble economy). Disebut dengan
balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi
apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Begitulah
keadaan ekonomi dunia saat ini.
Maraknya “kredit derivatif”,
sebagai instrumen keuangan yang dominan pada saat ini, merupakan pemicu
kerusakan dan krisis ekonomi global. Menurut data Morgan Stanley, nilai
kredit derivatif pada tahun 1998 hanya Rp 500 Trilyun, namun pada
Desember 2002 ditaksir sudah mencapai Rp 24.000 Trilyun, suatu kenaikan
yang luar biasa, yakni sebesar 47.000 persen atau 4700 kali lipat, hanya
dalam empat tahun. Transaksi derivatif ini umumnya tidak begitu
difahami oleh umum (awam), bahkan investor sekalipun. Transaksi ini
hanya transaksi “maya” (semu) yang dikaitkan dengan aktiva keuangan.
Demikian pula transaksi “future trading” seperti forward, yang merupakan spekulasi tentang kejadian di masa yang akan datang, juga sangat laris dipraktekkan dalam bisnis modern.
Perekonomian dunia yang digelembungkan
oleh transaksi maya tersebut dilakukan oleh segelintir orang di beberapa
kota dunia, seperti London ( 27 %), Tokyo, Hongkong Singapura (25 %)
dan Chicago-New York ( 17 %). Transaksi riba yang sangat dominan itu,
mencapai 99 persen dibanding transaksi riel yang dianjurkan Islam.
Menurut data, diperkirakan transaksi maya di pasar uang dunia mencapai
US $ 750 trilyun setahun, sedangkan kegiatan perdagangan dan jasa
(sektor riil) hanya US $ 7,5 trilyun saja. Dengan demikian pertumbuhan
uang demikian cepat, tapi ia bagaikan gelembung (bubble) saja.
Seringkali gelembung ini pecah yang mengakibatkan krisis di mana-mana,
termasuk krisisAsia yang hingga kini masih terasa. Islam menolak keras
segala macam transaksi maya tersebut. Sebaliknya, Islam mendorong
globalisasi dalam arti mengembangkan sektor riil atau perdagangan
nasional, regional maupun internasional. Pengembangan sektor riil inilah
hendaknya yang menjadi prioritas lembaga perbankan dan asuransi
syari’ah diIndonesia.
Saat ini bank dan lembaga keuangan sering
kali menciptakan berbagai model transaksi derivatif yang dikaitkan
dengan fluktuasi ekonomi global, misalnya kenaikan bunga atau resiko
obligasi tidak dibayar yang dapat dijual kepada investor. Untuk resiko
kredit tidak dibayar disebut dengan credit swap. Transaksi ini
dalam ekonomi syari’ah diharamkan. Kini, dengan banyaknya kritik yang
dialamatkan kepada praktek ini dan dampak negatifnya, banyak ekonom
Barat yang tersadar dan mengecamnya dengan keras. Warren Buffet dan
Rubin, mantan Secretary of Treasury AS berpendapat bahwa transaksi ini dapat meruntuhkan sistem keuangan global.