Friday 14 December 2012
Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawayh
A. BIOGRAFI DAN KARYA IBNU MISKAWAIH
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub ibn Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi khazin (pustakawan) Ibn al-‘Abid dimana dia dapat menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit. Setelah itu Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak.
Ibnu Miskawaih meninggalkan banyak karya penting, misalnya tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).
B. FILSAFATNYA
Ibnu Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawaih hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.
1. Metafisika
Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.
Tentang penciptaan yang banyak (alam) oleh yang satu (Tuhan), Ibnu Miskawaih menganut paham emanasi Neo-Platonisme sebagaimana halnya Al-Farabi. Tetapi dalam perumusannya terdapat perbedaan dengan Al-Farabi, yaitu bahwa menurut Ibnu Miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Dalam teori Al-Farabi akal aktif ini menempati tahap pemancaran ke sepuluh (akal 10). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.
Diambilnya teori emanasi ini dimaksudkan untuk mensucikan ke-esaan Tuhan dari sifat banyak. Ibnu Miskawaih mengatakan, bilamana satu penyebab melahirkan sejumlah efek yang berlainan, maka kemajemukannya kiranya tergantung pada alasan-alasan di bawah ini:
a. Penyebab bisa mempunyai bermacam-macam kekuatan.
b. Penyebab bisa menggunakan berbagai sarana untuk menghasilkan keanekaragaman efek.
c. Penyebab bisa menghasilkan keanekaragaman materi.
Tak satu pun pernyataan di atas berlaku untuk penyebab utama, yaitu Tuhan. Tuhan tidak mungkin dalam zatnya mempunyai bermacam-macam kekuatan yang berlainan. Jika Tuhan menggunakan berbagai sarana, seperti manusia menciptakan kursi dengan berbagai sarana seperti kayu, paku, gergaji, dan sebagainya, maka siapakah yang menciptakan sarana-sarana itu? Jika sarana-sarana itu diciptakan oleh penyebab yang selain Tuhan, berarti ada pluralitas penyebab utama. Pernyataan ketiga pun tidak mungkin bagi Tuhan, karena yang banyak tidak dapat mengalir dari tindak satu agen penyebab. Karena itu pastilah bahwa penyebab utama hanya menciptakan satu entitas yang darinya kemudian tercipta entitas-entitas yang lain. Entitas itulah yang disebut akal aktif.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi makhluk hidup yang secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa’. Teori itu terdiri atas empat tahapan:
1. Evolusi mineral; yaitu bentuk kehidupan yang dihuni makhluk-makhluk rendah. Misal batu, air, tanah.
2. Evolusi tumbuhan; yang mula-mula muncul adalah rerumputan spontan, kemudian tanaman, lalu pepohonan tingkat tinggi.
Di antara tumbuhan dan hewan terdapat satu bentuk kehidupan tertentu. yang tidak dapat digolongkan tumbuhan maupun hewan, namun memiliki ciri-ciri tumbuhan dan hewan, yaitu koral, dan euglena.
3. Evolusi hewan; dicirikan antara lain oleh adanya daya gerak dan indera peraba dan pada hewan yang lebih tinggi mulai adanya inteligensi. Hewan paling tinggi adalah kera.
4. Evolusi manusia; ditandai oleh adanya inteligensi dan daya pemahaman.
2. Kenabian
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Nabi tidaklah berbeda dengan filsuf dalam hal bahwa kedua-duanya memperoleh kebenaran yang sama. Hanya cara memperolehnya yang berbeda; Nabi memperoleh kebenaran melalui wahyu, jadi dari atas (akal aktif) ke bawah; filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya inderawi lalu daya khayal lalu daya pikir sehingga dapat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sumber kebenarannya sama-sama akal aktif.
3. Jiwa
Jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah substansi ruhani yang kekal, tidak hancur dengan kematian jasad. Kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa. Jiwa bersifat immateri karena itu berbeda dengan jasad yang bersifat materi. Mengenai perbedaan jiwa dengan jasad Ibnu Miskawaih mengemukakan argumen-argumen sebagai berikut:
a. Indera, setelah mempersepsi suatu rangsangan yang kuat selama beberapa waktu, tidak mampu lagi mempersepsi rangsangan yang lebih lemah, sedangkan aksi mental dan kognisi tidak.
b. kita sering memejamkan mata jika sedang merenungkan suatu hal yang musykil. Suatu bukti bahwa indera tidak dibutuhkan waktu itu.
c. mempersepsi rangsangan yang kuat merugikan indera, tetapi intelek bisa berkembang dan menjadi kuat dengan mengetahui ide dan paham-paham umum.
d. kelemahan fisik yang disebabkan usia tua tidak mempengaruhi kekuatan mental.
e. jiwa dapat memahami proposisi-proposisi tertentu yang tidak berkaitan dengan dengan data-data inderawi.
f. ada suatu kekuatan di dalam diri kita yang mengatur organ-organ fisik, membetulkan kesalahan-kesalahan inderawi, dan menyatukan pengetahuan.
Jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan. Tiga daya itu masing-masing melahirkan sifat kebajikan. Yaitu hikmah, keberanian, dan kesederhanaan. Keselarasan ketiga kebajikan tersebut akan menghasilkan kebajikan keempat, yaitu adil. Hikmah ada tujuh macam; tajam dalam berpikir, cekatan berpikir, jelas dalam pemahaman, kapasitas yang cukup, teliti melihat perbedaan, kuat ingatan, dan mampu mengungkapkan. Keberanian ada sebelas sifat; murah hati, sabar, mulia, teguh, tentram, agung, gagah, keras keinginan, ramah, bersemangat, dan belas kasih. Kesederhanaan ada dua belas; malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib, jujur, dan merdeka.
3. Moral/Etika
Dalam bidang inilah Ibnu Miskawaih banyak disorot dikarenakan langkanya filsuf Islam yang membahas bidang ini. Secara praktek etika sebenarnya sudah berkembang di dunia Islam, terutama karena Islam sendiri sarat berisi ajaran tentang akhlak. Bahkan tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Ibnu Miskawaih mencoba menaikkan taraf kajian etika dari praktis ke teoritis-filosofis, namun dia tidak sepenuhnya meninggalkan aspek praktis.
Moral, etika atau akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental terbagi dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasan dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang terpuji; kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu Miskawaih sangat menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan perhatian penting pada masa kanak-kanak, yang menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa’adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ada dua, yaitu kebaikan umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran-ukuran kebaikan yang disepakati oleh seluruh manusia. Kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang disebut kebahagiaan. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap orang.
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan. Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan.
Ibnu Miskawah mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju berderajat malaikat.
Tentang keutamaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Ibnu Miskawaih memandang sikap uzlah (memencilkan diri dari masyarakat) sebagai mementingkan diri sendiri. Uzlah tidak dapat mengubah masyarakat menjadi baik walaupun orang yang uzlah itu baik. Karena itu dapat dikatakan bahwa pandangan Ibnu Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan tentang penyakit-penyakit moral. Di antaranya adalah rasa takut, terutama takut mati, dan rasa sedih. Kedua penyakit itu paling baik jika diobati dengan filsafat.
5. Sejarah
Sejarah merupakan pencerminan struktur politik dan ekonomi masyarakat pada masa tertentu, atau dengan kata lain merupakan rekaman tentang pasang-surut kebudayaan suatu bangsa. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau tetapi juga menentukan bentuk yang akan datang.
Demikianlah sekadar pengantar kepada pemikiran filsafat Ibnu Miskawaih.
Referensi:
Nasution, Hasyimsyah, Dr., M.A., Filsafat Islam, Jakarta: GMP, 1999.
Shubhi, Ahmad Mahmud, Dr., Filsafat Etika, Jakarta: Serambi, 2001.
seorang Nabi tidak berbeda dengan seorang filosof? … apa nggak salah tuh?… mengingat Nabi itu orang yang menerima wahyu dari Alloh dan pandangan hidupnya didasarkan atas wahyu Alloh yang ia terima… adapun pengetahuan Alloh itu meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang ghoib, masa lalu, masa sekarang, dan masa depan… Alloh yang menentukan mana al-haq dan mana al-bathil dan yang paling tahu mana yang mambawa maslahat/manfaat dan mana yang mambawa mudhorot/mafsadat untuk manusia di dunia dan diakherat.Adapun filosof pengetahuannya sangat terbatas, parsial, sebatas pengalaman hidupnya dan pandangan hidupnya didasarkan atas capaian-capaian akal dari hasil olah pikir dia di dalam menyikapi pengalaman hidupnya… ia tidak tahu mana al-haq dan mana al-bathil karena ini hanya Alloh yang tahu… yang ia lakukan itu adalah sebatas megeneralisasi karena ia tidak tahu seluruh yang nampak lebih-lebih yang ghoib…ia mungkin hanya tahu apa yang bermanfaat di dunia saja… lagi pula banyak perselisihan hebat diantara para filosof itu sendiri… Jadi bagaimana bisa seorang Nabi disamakan dengan seorang filosof?…seorang Nabi bukan filosof karena dasar dari pandangan hidupnya adalah wahyu Alloh, bukan buah pikirannya sendiri… maka akan banyak membawa manfaat bagi manusia jika ia berpedoman kepada wahyu Alloh, al-qur’an, dan dengan ikhlas karena Alloh semata mempraktekan semampunya dalam kehidupan sehari-hari karena al-qur’an (termasuk di dalamnya as-sunnah)telah mencukupi kebutuhan manusia untuk mengarungi kehidupan di dunia ini. Saya kuatir kalau orang menjauhkan diri dari petunjuk Alloh, al-qur’an, dan cenderung kepada filsafat dan kagum kepadanya akan tersesat. Maka saya tinggalkan filsafat dan para filosof siapapun dia muslim atau non muslim.
Thursday 13 December 2012
KERANGKA BERPIKIR ILMIAH
Tujuan Instruksional
•Peserta dapat memahami peran dan fungsi akal
•Peserta dapat memahami garis besar filsafat ilmu
•Peserta dapat memahami aliran-aliran
berpikir
DEFENISI
•Defenisi adalah penjelasan tentang sesuatu yang terbatas.
•Defenisi ditujukan memberikan batasan-batasan tentangsesuatu
•Defenisi adalah penjelasan tentang sesuatu yang terbatas.
•Defenisi ditujukan memberikan batasan-batasan tentangsesuatu
Pengantar
•Secara etimolologi,Filsafat
berasal dari bahasa yunaniyaitu kata Philoyang artinya cinta dan Sophia yang artinyabijak, pandai.
•Proses filsafat adalah proses berpikir secara radikal(radix : mengakar), menyeluruh dan sistematis, sehinggamelihat sesuatu secara mendalam, menyeluruh dantersusun sehingga kita arif dalam melihat persoalan.
•Secara etimolologi,Filsafat
berasal dari bahasa yunaniyaitu kata Philoyang artinya cinta dan Sophia yang artinyabijak, pandai.
•Proses filsafat adalah proses berpikir secara radikal(radix : mengakar), menyeluruh dan sistematis, sehinggamelihat sesuatu secara mendalam, menyeluruh dantersusun sehingga kita arif dalam melihat persoalan.
Pondasi
filsafat
•Ontologi
○Membahas tentang hakikat sesuatu dalam haleksistensi dan esensi.
•Epistemologi
○Berasal dari bahasa yunani, yaitu Epistem yang berartipengetahuan dan Logos yang berarti teori atau ilmu.
○Membahas tentang sumber-sumber pengetahuan.
• Aksiologi
○Membahas tentang kegunaan sesuatu.
•Ontologi
○Membahas tentang hakikat sesuatu dalam haleksistensi dan esensi.
•Epistemologi
○Berasal dari bahasa yunani, yaitu Epistem yang berartipengetahuan dan Logos yang berarti teori atau ilmu.
○Membahas tentang sumber-sumber pengetahuan.
• Aksiologi
○Membahas tentang kegunaan sesuatu.
Perdebatan
ekstrim filsafat
•Dalam ranah kajian filsafat, manusia seringkali terjebakpada perdebatan ekstrim antara empirisme dan sofisme
•Empirisme menyatakan bahwa yang ada hanyalah materidan hanya materilah yang bisa dijadikan sebagai kebenaranmutlak.
• Sofisme menyatakan bahwa yang ada hanyalah ide denganpernyataan bahwa segala sesuatu terindrai adalah hasilpendefenisian ide, jadi ide yang paling benar. (biasa disebutidealisme platonian).
Sumber-sumber pengetahuan
•Empirisme
○Doktrin empirisme berlandaskan pada pengalaman danpersepsi indrawi.
○Kelemahan :
-Indra terbatas;
-Indra dapat mengalami distorsi.
•Sofisme
○Manusia sudah memiliki pengetahuan sebelum manusialahir. Ketika manusia lahir, pengetahuan mengalamidegradasi oleh karena itu manusia
dalam prosesnyaberpikirnya hanya proses pengingatan kembali.Contoh : Dejafu
•Dalam ranah kajian filsafat, manusia seringkali terjebakpada perdebatan ekstrim antara empirisme dan sofisme
•Empirisme menyatakan bahwa yang ada hanyalah materidan hanya materilah yang bisa dijadikan sebagai kebenaranmutlak.
• Sofisme menyatakan bahwa yang ada hanyalah ide denganpernyataan bahwa segala sesuatu terindrai adalah hasilpendefenisian ide, jadi ide yang paling benar. (biasa disebutidealisme platonian).
Sumber-sumber pengetahuan
•Empirisme
○Doktrin empirisme berlandaskan pada pengalaman danpersepsi indrawi.
○Kelemahan :
-Indra terbatas;
-Indra dapat mengalami distorsi.
•Sofisme
○Manusia sudah memiliki pengetahuan sebelum manusialahir. Ketika manusia lahir, pengetahuan mengalamidegradasi oleh karena itu manusia
dalam prosesnyaberpikirnya hanya proses pengingatan kembali.Contoh : Dejafu
○Kelemahan :
-Tidak ada landasan yang pasti bahwa kita pernah berada dalam alam ide.
- Kalaupun teori ini diasumsikan benar, tidak adayang bisa menjelaskan apakah pengetahuan kitahari ini selaras dengan pengetahuan kita di alamide
-Tidak diterangkan dimana ide dan materi itumenyatu saat kita lahir dan mengapa pada saatkita lahir mengapa pengetahuan kita mengalami degradasi.
-Tidak ada landasan yang pasti bahwa kita pernah berada dalam alam ide.
- Kalaupun teori ini diasumsikan benar, tidak adayang bisa menjelaskan apakah pengetahuan kitahari ini selaras dengan pengetahuan kita di alamide
-Tidak diterangkan dimana ide dan materi itumenyatu saat kita lahir dan mengapa pada saatkita lahir mengapa pengetahuan kita mengalami degradasi.
Rasionalisme
•Rasionalisme kurang lebih berarti sebuah pahaman yangmenjadikan akal (rasio) sebagai alat untuk menilai sesuatu.
•Persoalannya, bahwa ternyata akal pun masih bisa salah,artinya akal tidak mutlak.
•U/ menjawab hal ini, kita kembali pada pendefenisian awal,
Berpikir adalah proses gerak akal.
•Dalam proses berpikir, agar tidak terjadikesalahan/kecelakaan berpikir, maka akal harus menaati aturan-aturan berpikir
.Jadi terjadinya kesalahan berpikir bukan karena akalnyayang salah tapi penggunaan akalnya yang tidak tepat.
•Bangunan kerangka ilmiah dalam proses berpikir biasa disebut keranga berpikir ilmiah
.
Kerangka berpikir ilmiah
•Kerangka berpikir ilmiah sering disebut logika aristotelianatau logika formal
•Prinsip-prinsip logika ariototelian :
○Prinsip identitas
○Prinsip Non Kontradiksi
○Prinsip Kausalitas
•Rasionalisme kurang lebih berarti sebuah pahaman yangmenjadikan akal (rasio) sebagai alat untuk menilai sesuatu.
•Persoalannya, bahwa ternyata akal pun masih bisa salah,artinya akal tidak mutlak.
•U/ menjawab hal ini, kita kembali pada pendefenisian awal,
Berpikir adalah proses gerak akal.
•Dalam proses berpikir, agar tidak terjadikesalahan/kecelakaan berpikir, maka akal harus menaati aturan-aturan berpikir
.Jadi terjadinya kesalahan berpikir bukan karena akalnyayang salah tapi penggunaan akalnya yang tidak tepat.
•Bangunan kerangka ilmiah dalam proses berpikir biasa disebut keranga berpikir ilmiah
.
Kerangka berpikir ilmiah
•Kerangka berpikir ilmiah sering disebut logika aristotelianatau logika formal
•Prinsip-prinsip logika ariototelian :
○Prinsip identitas
○Prinsip Non Kontradiksi
○Prinsip Kausalitas
Prinsip
identitas
•Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu itu hanya samadengan dirinya sendiri.
•Secara sistematis dirumuskan :(x=x)
Prinsip Non Kontradiksi
•Prinsip ini menyatakan bahwa tiada sesuatupun yangberkontradiksi.
•Sesuatu berbeda dengan yang bukan dirinya.
•Secara sistematis dirumuskan :(x ≠ -x)
Prinsip Kausalitas
•Prinsip ini menyatakan bahwa tidak ada sesuatupun yangkebetulan.
•Secara sistematis dirumuskan
dalam perinsip sebab akibat
•Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu itu hanya samadengan dirinya sendiri.
•Secara sistematis dirumuskan :(x=x)
Prinsip Non Kontradiksi
•Prinsip ini menyatakan bahwa tiada sesuatupun yangberkontradiksi.
•Sesuatu berbeda dengan yang bukan dirinya.
•Secara sistematis dirumuskan :(x ≠ -x)
Prinsip Kausalitas
•Prinsip ini menyatakan bahwa tidak ada sesuatupun yangkebetulan.
•Secara sistematis dirumuskan
dalam perinsip sebab akibat
keTuhanan
DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rosul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rosul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rosul penghabisan, jadi tiada Rosul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rosul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain. Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah. Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas menerangkan secara singkat ; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin, dan "kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan". Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada". Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya ; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada "persetujuan" atau "ridhanya ". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada diriNya dan teratur secara harmonis. Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya. Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.
Jika kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana. Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi. Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi. Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri. Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan. Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan", sebab : segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya. Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu. Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu. Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya.
Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan ilmu. Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa.
Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan menuju kebenaran.
Sesudahnya atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja. Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah.
Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya.
B. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN
Telah disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief).
"Dlamier" atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya. Nilai- nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang kongkrit. Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan. Hidup yang pernuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan baik yang mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya. Dia diliputi oleh semangatmencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan. Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (widom, hikmah).
Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya. Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf. Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri,menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni. Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberikannya kebahagiaan. Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.
Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.
KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN KEMANUSIAAN
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tatapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu ?. Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah. Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran. Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME. Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan.
Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME. Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME. Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain, ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi : manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri : jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata. Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harafiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman. Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati. Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradabannya.
"Syirik" merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan. Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik. Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya. Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
"Musyrik" adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan.
Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan jiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan.
Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan) maka kebutuhan menimbulkan sikap yang adil kepada manusia.
KEMAJUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan , dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemmanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh
1). Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa , serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia ?.
Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu.
Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan).
2). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan.
3). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak setatis. Dia bukanlah seorang tradisional, apalagi reaksioner.
4). Dia menghendaki perubahan terus menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari sejarah umt manusia.
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri.
5). Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa.
6). Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi.
7).Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio.
8). Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap.
9). Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu.
10). Tetapi cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang.
11). Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan perbaikan.
. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb :
Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.
Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan, ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari pada agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat-ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengahh alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia telah melebihkan sehingga kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yanag sungguh - sungguh secara essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu yang menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha - usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai - nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usaha itu ialah "amar ma'ruf , disamping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai - nilai kemanusiaan dan nahi mungkar. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha - usaha kearah penungkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang tegas kepada musuh - musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan mengahancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan diantaranya yang terbaik.
Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu, dan beramal.
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rosul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rosul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rosul penghabisan, jadi tiada Rosul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rosul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain. Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah. Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas menerangkan secara singkat ; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin, dan "kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan". Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada". Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya ; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada "persetujuan" atau "ridhanya ". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada diriNya dan teratur secara harmonis. Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya. Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.
Jika kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana. Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi. Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi. Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri. Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan. Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan", sebab : segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya. Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu. Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu. Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya.
Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan ilmu. Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa.
Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan menuju kebenaran.
Sesudahnya atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja. Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah.
Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya.
B. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN
Telah disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief).
"Dlamier" atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya. Nilai- nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang kongkrit. Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan. Hidup yang pernuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan baik yang mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya. Dia diliputi oleh semangatmencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan. Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (widom, hikmah).
Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya. Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf. Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri,menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni. Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberikannya kebahagiaan. Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.
Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.
KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN KEMANUSIAAN
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tatapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu ?. Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah. Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran. Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME. Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan.
Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME. Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME. Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain, ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi : manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri : jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata. Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harafiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman. Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati. Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradabannya.
"Syirik" merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan. Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik. Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya. Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
"Musyrik" adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan.
Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan jiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan.
Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan) maka kebutuhan menimbulkan sikap yang adil kepada manusia.
KEMAJUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan , dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemmanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh
1). Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa , serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia ?.
Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu.
Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan).
2). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan.
3). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak setatis. Dia bukanlah seorang tradisional, apalagi reaksioner.
4). Dia menghendaki perubahan terus menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari sejarah umt manusia.
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri.
5). Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa.
6). Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi.
7).Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio.
8). Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap.
9). Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu.
10). Tetapi cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang.
11). Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan perbaikan.
. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb :
Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.
Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan, ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari pada agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat-ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengahh alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia telah melebihkan sehingga kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yanag sungguh - sungguh secara essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu yang menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha - usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai - nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usaha itu ialah "amar ma'ruf , disamping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai - nilai kemanusiaan dan nahi mungkar. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha - usaha kearah penungkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang tegas kepada musuh - musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan mengahancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan diantaranya yang terbaik.
Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu, dan beramal.
iman, ilmu dan amal
Iman Ilmu Amal
Secara
garis besar, ada tujuh persoalan yang dibahas dalam NDP. 1) Dasar-dasar
Kepercayaan; 2) Pengertian-pengertian Dasar tentang Kemanusiaan; 3)
Kemerdekaan Manusia (ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir); 4)
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan; 5) Individu dan Masyarakat;
6) Keadilan Sosial dan Ekonomi; 7) Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan.
Ketujuh persoalan itu secara sederhana dapat diintisarikan dalam tiga
kata: iman, ilmu, amal.
Iman,
adalah bentuk kepercayaan yang paling mendasar dalam diri manusia.
Hidup yang benar dimulai dengan iman yang benar. Iman yang benar adalah
percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, disertai takwa, yaitu
keinginan mendekat serta kecintaan kepadaNya. Manusia berhubungan dengan
Tuhan dalam bentuk penghambaan atau penyerahan diri (islam),
berupa ibadah (pengabdian formil/ritual). Ibadah mendidik individu agar
tetap ingat kepada Tuhan dan berpegang teguh pada kebenaran sebagaimana
dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Dengan ibadat, manusia dididik
untuk memiliki kemerdekaannya, kemanusiaannya, dan dirinya sendiri;
sebab ia telah berbuat ikhlas, yaitu memurnikan pengabdian hanya kepada
kebenaran (Tuhan) semata-mata. Inilah yang disebut tauhid. Lawannya
adalah syirik, yaitu memperhambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan.
Syirik merupakan kejahatan terbesar bagi kemanusiaan karena sifatnya
yang meniadakan kemerdekaan asasi.
Tuhan
adalah mutlak. Kebenaran Tuhan dengan demikian bersifat mutlak. Yang
selain Tuhan (baca: manusia) adalah relatif. Namun sudah merupakan tugas
sejarah bagi yang relatif ini untuk terus-menerus berupaya mencapai
Yang Mutlak, karena dari sanalah manusia berasal dan kepada-Nyalah
manusia kembali. Kembali kepadaNya berarti menuju kepada Kebenaran.
Namun Kebenaran yang sifatnya mutlak tidak mungkin dicapai oleh manusia.
Manusia hanya dapat mencapai kebenaran-(kebenaran) yang relatif. Untuk
itu manusia memerlukan ilmu, yang merupakan alat manusia untuk
mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran itu. Sekalipun relatif,
kebenaran-kebenaran itu merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui
manusia dalam perjalanan menuju Kebenaran Mutlak.
Ilmu
adalah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang alam
dan dirinya sendiri. Hubungan manusia dengan alam bersifat penguasaan
dan pengarahan. Alam tersedia bagi manusia untuk kepentingan pertumbuhan
kemanusiaan. Penguasaan dan pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan
tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumNya yang tetap (sunnatullah). Pengetahuan itu dapat dicapai dengan mendayagunakan intelektualitas rasionalitas secara maksimal.
Manusia
adalah makluk sosial, hidup di antara dan bersama manusia-manusia lain
dalam hubungan tertentu. Oleh karena itu manusia tidak mungkin dapat
memenuhi kemanusiaannya dengan baik tanpa berada di tengah sesamanya.
Iman dan ilmu saja tidaklah berarti apa-apa jika tidak diterapkan dalam
bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan. Inilah yang disebut amal.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam
usaha yang sungguh-sungguh secara esensial menyangkut kepentingan
manusia secara keseluruhan, yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat
sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabat sebagai
manusia. Usaha ini disebut amar ma’ruf. Lawannya disebut nahi munkar,
yaitu mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai
kemanusiaan. Dalam bentuk yang lebih konkrit, usaha ini diwujudkan
misalnya melalui pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, serta
usaha ke arah peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan
layak sebagai manusia.
Dengan
integrasi iman, ilmu, dan amal itulah manusia akan mampu memenuhi
kodratnya, yaitu sebagai hamba di hadapan Tuhan dan sebagai khalifah di
hadapan alam. Cita-cita ideal HMI kiranya tertuang dalam NDP tersebut.
menjadi manusia kreatif yang mampu berinovasi dalam kerja-kerja nyata
demi mempertinggi harkat kemanusiaan (amal saleh); disertai ilmu sebagai
alat untuk melakukan itu; dan tentu saja dilandasi oleh iman yang
benar.
Status NDP
Selama
ini HMI dikenal dengan tradisi pembaharuannya. Dalam pembaharuan akan
selalu ada kritik dan otokritik terhadap segala sesuatu yang ada. Hal
ini memungkinkan adanya perbaikan dan pengembangan ke arah yang lebih
baik.
Meskipun NDP berpretensi ideologis, NDP tidak boleh diperlakukan sebagai dogma yang taken for granted
oleh kader-kader HMI. NDP bagi HMI tidaklah sama dengan al-Quran bagi
umat Islam. Bagaimana pun NDP adalah buatan manusia. Karena itu meskipun
perumusannya didasarkan pada wahyu yang bersifat mutlak, NDP tak lebih
dari sekadar hasil interpretasi manusia yang nilai kebenarannya relatif.
NDP bolehlah dikatakan sebagai satu usaha berupa landasan filosofis
untuk mencapai Yang Mutlak, Kebenaran, yaitu Tuhan itu sendiri.
Keberadaan NDP harus disikapi secara kritis. Cak Nur sendiri, selaku
salah seorang perumus NDP, ketika ditanya apakah NDP masih relevan
dengan kondisi sekarang ataukah perlu diganti, mengatakan bisa saja,
asal tingkat intelektualitasnya tidak lebih rendah dari yang ada
sekarang.
NILAI DASAR PERJUANGAN
NILAI DASAR PERJUANGAN HMI BARU
KATA PENGANTAR
Nilai Dasar Perjuangan adalah sebuah landasan filosofis dan ideologis sekaligus sebagai spirit perjuangan dari organisasi sehingga setiap kader HMI harus mampu memahami nilai dasar perjuangan bukan hanya pada tataran yang formal tapi juga secara substansial sehingga tidak ada kontradiksi pada tataran konsep dan taktis melainkan sebuah keserasian antara landasan konseptual yang diterjemahkan pada wilayah starategis dan kebijakan yang taktis atau operasional.
Setiap generasi bertanggung jawab pada sejarah yang yang menyertainya, dan progressifitas perubahan menjadi keniscayaan dari setiap sejarah. Begitu halnya dengan sebuah organisasi ataupun suatu lembaga pasti diwarnai dengan perubahan, dan organisasi yang tidak mampu mengikuti pola perubahan yang terjadi pada zamannya, maka dia akan tertinggal jauh dan menjadi organisasi yang terbelakang, sehingga wacana perubahan adalah identik dengan parsialitas perubahan yang niscaya harus direspon. Tuntutan inilah yang mendorong keterbukaan dan progresifitas, karena wacana yang anti kepada perubahan adalah kejumudan, ketertutupan terhadap realitas yang mengalami perubahan dan cenderung bersifat status quo dalam memapankan kekuasaan. Bakornas LPL HMI dalam melihat wacana perubahan yang terjadi dalam spirit organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan dalam pengkaderan yang tentunya berlandaskan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi Himpunan Mahsiswa Islam (HMI), maka dengan itu kami mencoba memfasilitasi kader-kader HMI yang masih tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk memformat ulang materi-materi dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi rekomendasi kongres. Sebagai langkah kongkrit maka kami dari Bakornas LPL HMI mengadakan semiloka Pendalaman NDP di Mataram, yang kemudian menghasilkan draf materi dan pembentukan tim 8 untuk kemudian menggodok lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan draft narasi yang menjadi kelanjutan forum di mataram selanjutnya digelarlah pendalaman dan finalisasi penulisan draft NDP yang diadakan oleh Bakornas yang bekerja sama dengan tim 8 di cabang Makasar Timur.
Dari hasil materi tersebut sepenuhnya nilai dasar perjuangan HMI tidaklah mengalami perubahan yang radikal kecuali hanya beberapa tema yang mengalami perubahan dan terdapat beberapa tema-tema tambahan khususnya materi landasan dan kerangka Berpikir dan dasar-dasar kepercayaan. Materi ini dianggap penting karena secara substansial materi ini dapat mengantarkan kita berpikir induktif yang ukuran kebanaran hanya dalam batas yang material dan mengarahkan kita kepada tidak meyakini hal-hal yang sifatnya metafisika dan hal itu mengingkari landasan ideologis organisasi yang berbasis Islam. Dan materi dasar-dasar kepercayaan yang selama ini bersifat dogmatis karena pembuktian wujud melalui pemahaman teks yang justru membawa paradigma determenistik dan jauh dari prinsip-prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi pengayaan pendekatan dalam membuktikan esensialitas ajaran islam secara logis dengan pendekatan deduktif.
Adapun pengayaan lanjut dalam materi nilai dasar perjuangan adalah pertama: Hakikat penciptaan dan eskatologi, materi ini mengurai tentang hakikat penciptaan manusia dan pembuktian secara rasional akan adanya hari kebangkitan dengan argumentasi yang logis dengan prinsip-prinsip yang rasional, kedua: manusia dan nilai kemanusiaan, materi ini mengurai tentang manusia sebagai khalifah dalam alam makrokosmos dilihat dari berbagai persfektip tentunya dalam kaca mata Qur,an melihat manusia, apa ukuran manusia itu dikatakan sempurna apakah dalam dimensi fisiologis atau dalam dimensi sprtitual, Al-qur’an melihat bahwa ukuran kesempuraan terletak dalam dimensi spritualitas bukan fisiologis seperti yang banyak diungkapkan oleh pemikir-pemikir barat yang berbasis materialistik. Selanjutnya penjabaran meteri dari kemerdekaan manusia dan keniscyaan universal, individu dan masyarakat, keadilan ekonomi dan keadilan sosial dan sains islam mengalami perubahan pada materi yang secara substansial adalah turunan dan penjabaran lebih jauh dari perubahan meteri dari hakikat penciptaan dan eskatologi dan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, yang tentunya dengan uraian materi yang saling terkait antara sub-sub bab masing-masing dalam kerangka yang sistematis.
BAB I : LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR
Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan-gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan, Dewa, malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena adalah mustahil seseorang dapat meyakini atau menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada penilaian maka itu ia dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya adalah apa landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti? Dalam kanca perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua, mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika Islam dalam hal ini menjadikan prima principia dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya.
Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula bagi mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen yang dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab yang lain tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun teologis.
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif. Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang berlandaskan prima principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan kesalahannya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah, filosofis dan teologi menjadi runtuh dan tak bermakna.
BAB II: DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).
Ada
berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya. Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan. Manusia – yang terbatas – tidak sempurna – tergantung – memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya. Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad). Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar“.
Sesungguhnya
Ia
lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak. Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian spritual. Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan. Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa. Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini. Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala. Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia terhadap Tuhan dan alam.
BAB III: HAKEKAT PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI (MA’AD)
Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan pondasi penting dari keimanan Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan muslim. Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan kemanakah tujuannya?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan. Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati (Eskatologi). Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan anatara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri. Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.
BAB IV: MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk mulia atau hina.
Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia.
Para
ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya. Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya (QS.33:21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (QS.68:4). Dengan kata lain bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia sempurna) dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan lebih rendah dari binatang. Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap ¯sebagai syaitan (QS.6:112).
BAB V: KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR MANUSIA) DAN KENISCAYAAN UNIVERSAL (TAQDIR ILAHI)
Sebagai mahluk Tuhan yang ditetapkan sebagai wakil Tuhan (QS.
2:30
) manusia berbeda dengan batu, tumbuhan maupun binatang. Batu ketika menggelinding dari sebuah ketinggian bergerak berdasarkan tarikan gravitasi bumi tanpa ikhtiar sedikitpun begitu pula halnya tumbuhan yang tumbuh hanya dibawah kondisi tertetu atau sebagai mana binatang yang bertindak berdasarkan naluri alamiahnya. Ketiga mahluk-mahluk ini bergerak atau bertindak tidak berdasarkan ikhtiari. Namum bagi manusia, ia merupakan mahluk yang senantiasa diperhadapkan pada berbagai pilihan-pilihan, dan hanya dengan adanya sintesa antara ilmu dan kehendak yang berasal dari tuhan ia dapat berikhtiar (memilih) yang terbaik diantara pilihan-pilihan tersebut. Tanpa ilmu tentang hal-hal ideal ataupun keharusan – keharusan universal maka meniscayakan ketiadaan ikhtiar dan begitupula ketiadaan kehendak atau keinginan maka iapun mungkin memilih, orang gila (tidak berilmu) dan pingsan (takberkehendak) adalah bukti nyata ketiadaan ikhtiar. Sementara, ketiadaan ikhtiar bukti ketiadaan kebebasan dan itu memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Jadi ia merupakan mahluk berikhtiar yang hanya dapat bermakna bila berhadapan diantara keharusan-keharusan universal (takdir). Keharusan – keharusan universal atau yang biasa disebut sebagai takdir takwini ataupun takdir tasri’i baik yang bersifat defenitif (Dzati) maupun yang tidak bersifat defenitif (Sifati) bukanlah berarti bahwa manusia sesungguhnya hanya sebuah robot yang bergerak berdasarkan skenario yang telah dibuat Tuhan, tetapi hendaklah dipahami bahwa takdir tidak lain sebagai sebuah prinsip akan terbinanya sistem kausalitas umum (bahwa akibat mesti berasal dari sebab-sebab khususnya, dimana rentetan kausalitas tersebut berakhir pada sebab dari segala sebab yakni tuhan) atas dasar pengetahuan dan kehendak ilahi yang Maha Bijak. Takdir Takwini (Ketetapan penciptaan) tiada lain merupakan prinsip kemestiaan yang mengatasi sistem penciptaan alam dan takdir tasyrii (Ketetapan Syariaat) merupakan prinsip kemestiaan yang mengatur sistem gerak individu maupun masyarakat dari segi sosiologis dan spritual.
Memahami konsep takdir sebagai sebuah skenario yang telah ditetapkan oleh tuhan meniscayakan ketiadaaan keadilan tuhan dan konsep pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir tidaklah dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan diatas (yakni takdir takwini sebagai sebuah sistem yang mengatur proses penciptaan dan takdir tasyri’i sebagai ketapan yang mengatur kehidupan etik, sosial dan spritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada proses kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus mendidih. Berbuat baik akan mendapat surga dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau beku, surga atau neraka dan karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar. Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas terdapat hukum-hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia menjadi aktual bila terdapat adanya dan diketahuinya takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk membuat suatu teknologi apapun. Bagi mereka hukum-hukum syariat tak diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi itu sendiri mengharuskan adanya iktiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan ikhtiar pada manusia, tiada ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan ketiadaan kebebasan memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas atau mendapatkan kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti bukanlah sebagai tujuan akhir bagi manusia. Sebab bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir maka kebebasan menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya merupakan syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan. Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau individu yang lain. Sebab defenisi kebebasan itu tersebut adalah sistem etik yang hanya menguntungkan orang – orang kuat dan mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasannya itu sendiri telah dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-orang lemah tidak memiliki daya untuk membatasi kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu tidaklah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara sosial dalam interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secera spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti kemampuan untuk tidak memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas menindas ketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu pengertian kemerdekaan manusia dan keharusan universal.
BAB VI: INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga.
Jadi
Ia
membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagimana beberapa individu berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan proses kesadaran sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja sama sebagai langka terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat didefenisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama adalah membetuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak dalam mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial (ikatan psikologis antara individu-individu), individu merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat pun tidak ada. Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaiman senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran, cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi individu dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri. Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian, potensi tersebut dapat saja tidak teraktual secara sempurna dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu ini mulai teraktual di kala interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk yang lebih besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab material), maka tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam mengubah wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah sistem sosial yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan kesucian sistem tersebut memberikan implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam hubungannya terhadap alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk mewujudkan sistem sosial.
BAB VII: KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Keadilan menjadi sebuah konsep abstrak yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamnya mereka – mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan menemukan jawaban terhadap sebab – sebab terjadinya ketidak adilan sosial dan ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan sosial dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah (positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya serta kapasitas pengetahuannya. Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat bahwa penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga terciptanya kelas – kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran kolektif dari kesadaran kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial (bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi mengatur atau merawat dalam hal menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat – alat produksi ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama) yang dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara menasionalisasikan alat-alat produksi tersebut.
Adapun menurut Islam kepemilikan pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan sebagaimana yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya kepemilikan pribadi yang semata-mata materealistik justru penyebab proses kehancuran sistem kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang sering disebut sebagai ego. Itulah sebabnya mengapa ketika seluruh alat – alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian diamanahkan kepada negara yang nota bene adalah terdiri dari individu – individu sebagai pengelolahnya kemudian berubah menjadi kapitalisme atau borjuis – borjuis baru yang diktator dan menganggap diri mereka tuan (penguasa) bagi unit-unit yang mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi tidak dapat mengubah mentalitas manusia yang punya kecenderungan egoistik. Bagi Islam satu – satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidak adilan adalah dengan memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan hidupnya dari semata-mata bersifat materialistik kekesadaran teologis dan ekskatologis, tanpa memasung atau bahkan mematikan naluri alamiahnya. Adalah suatu kemustahilan disatu sisi ketika kesadaran teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari pandangan dunia seseorang dan disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan atau kepemilikan pribadinya kemudian serta merta ia berubah dari individualis menjadi seorang pribadi yang sosialis (bukan sosialisme). Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia sebagai pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia untuk melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia juga dapat mendorong manusia untuk mencapai kualitas spiritual yang paripurna (insan kamil). Karena itu Islam tidak datang untuk membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun ia datang untuk memupuk, membina dan mengarahkannya secara spiritual dengan suatu kesadaran teologis (TAUHID) dan Ekskatologis (MAAD).
Bagi Islam penyebab terjadinya ketidakadilan sosial dan ekonomi atau dengan kata lain penyebab terjadinya kelas-kelas dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya kesadaran tauhid. Hal ini dapat dilihat ketika al-Qur’an menceritakan mental Fir’aun yang sewenang-wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab terjadinya kelas-kelas (penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan menobatkan dirinya menjadi Tuhan (QS.28:38-39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hai ini Islam mengajarkan untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan dalam Al- Quran yang artinya: ….tidak kita sembah Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Alla (QS.3:64). Adapun di sisi lain penyebab terjadinya ketidak adilan ekonomi (yang miskin semakin miskin dan sebaliknya) disebabkan tidak berjalannya sistem tauhid (pelaksanaan syariat) karena itu kata al-Qur’an menegaskan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari langit atas mereka dan dari bawah kaki mereka (QS.5:66) atau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS.7:96) atau bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (Agama Islam; melarang praktek riba, serta menganjurkan atau bahkan mewajibkan khumus, Jis’ah, sedekah, infak, zakat dll), niscaya benar-benar kami akan memberikan muniman kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak, QS.72:16). Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus antara bertindak sesuai dengan perintah-peritah Tuhan di satu sisi dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan antara distribusi yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil dilaksanakan. Dengan kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan dan meningkatkan kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian inilah selanjutnya akan melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk manifestasi dari pengabdian serta kecintaan kita kepada Allah SWT. Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan sosial dan ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup. Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial. Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk yang terkandung didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan, baik berupa keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya pra-syarat inilah negara ideal sebagai dicita-citakan bersama (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi (syariat) Islam yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap kaum muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor produksi sosio-ekonomi dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang dikelola langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol masyarakat dan negara yang berlandaskan pada prinsif-prinsif keadilan.
BAB VIII: SAINS ISLAM
Sains dalam sejarah perkembangan seringkali dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan terhadap nilai-nilai budaya, agama atau pandangan – pandangan tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan positivisme di Eropa adalah contoh-contahnya. Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab sains diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi ia dapat mengembangkan suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi masalah-masalah praktis dan prakmatis manusia serta kemampuannya yang dapat merubah konstruk berfikir manusia itu sendiri sehingga membawa mereka ke arah peradaban baru yang lebih maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilai-nilai budaya, agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang menolak hal – hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya dalam karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai – nilai keagamaan lainnya. Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa pemikir muslim melakukan islamisasi sains terhadap sains-sains modern (sains positivisme) sebagai sebuah bentuk keseriusan mereka dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi) dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains inilah yang kita sebut sains islam. Islamisasi sains atau sains Islam dapat dimulai dengan menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit) Islam itu sendiri, yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), serta Kenabiaan.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga bersifat materealistik atau positivistik. Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan berubahnya teori-teori sebelumnya dengan ditemukannya teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau menjadi dipertanyakan relevansinya.
Begitupula islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains islam. Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan status dan basis ontologinya, sebab ia merupakan basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan status ontologis meniscayakan perbedaan pada status epistimologi berikut metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu sendiri. Epistimologi barat berbasis pada status ontologi materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik. Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia tetapkan pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal (objek-objek metafisika). Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains Islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung, deduksi rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen) untuk mengetahui objek-objek fisika. Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi. Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya. Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik). Dalam klasifikasi sains islam karena status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek ontologi, maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains matematika.
KATA PENGANTAR
Nilai Dasar Perjuangan adalah sebuah landasan filosofis dan ideologis sekaligus sebagai spirit perjuangan dari organisasi sehingga setiap kader HMI harus mampu memahami nilai dasar perjuangan bukan hanya pada tataran yang formal tapi juga secara substansial sehingga tidak ada kontradiksi pada tataran konsep dan taktis melainkan sebuah keserasian antara landasan konseptual yang diterjemahkan pada wilayah starategis dan kebijakan yang taktis atau operasional.
Setiap generasi bertanggung jawab pada sejarah yang yang menyertainya, dan progressifitas perubahan menjadi keniscayaan dari setiap sejarah. Begitu halnya dengan sebuah organisasi ataupun suatu lembaga pasti diwarnai dengan perubahan, dan organisasi yang tidak mampu mengikuti pola perubahan yang terjadi pada zamannya, maka dia akan tertinggal jauh dan menjadi organisasi yang terbelakang, sehingga wacana perubahan adalah identik dengan parsialitas perubahan yang niscaya harus direspon. Tuntutan inilah yang mendorong keterbukaan dan progresifitas, karena wacana yang anti kepada perubahan adalah kejumudan, ketertutupan terhadap realitas yang mengalami perubahan dan cenderung bersifat status quo dalam memapankan kekuasaan. Bakornas LPL HMI dalam melihat wacana perubahan yang terjadi dalam spirit organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan dalam pengkaderan yang tentunya berlandaskan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi Himpunan Mahsiswa Islam (HMI), maka dengan itu kami mencoba memfasilitasi kader-kader HMI yang masih tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk memformat ulang materi-materi dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi rekomendasi kongres. Sebagai langkah kongkrit maka kami dari Bakornas LPL HMI mengadakan semiloka Pendalaman NDP di Mataram, yang kemudian menghasilkan draf materi dan pembentukan tim 8 untuk kemudian menggodok lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan draft narasi yang menjadi kelanjutan forum di mataram selanjutnya digelarlah pendalaman dan finalisasi penulisan draft NDP yang diadakan oleh Bakornas yang bekerja sama dengan tim 8 di cabang Makasar Timur.
Dari hasil materi tersebut sepenuhnya nilai dasar perjuangan HMI tidaklah mengalami perubahan yang radikal kecuali hanya beberapa tema yang mengalami perubahan dan terdapat beberapa tema-tema tambahan khususnya materi landasan dan kerangka Berpikir dan dasar-dasar kepercayaan. Materi ini dianggap penting karena secara substansial materi ini dapat mengantarkan kita berpikir induktif yang ukuran kebanaran hanya dalam batas yang material dan mengarahkan kita kepada tidak meyakini hal-hal yang sifatnya metafisika dan hal itu mengingkari landasan ideologis organisasi yang berbasis Islam. Dan materi dasar-dasar kepercayaan yang selama ini bersifat dogmatis karena pembuktian wujud melalui pemahaman teks yang justru membawa paradigma determenistik dan jauh dari prinsip-prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi pengayaan pendekatan dalam membuktikan esensialitas ajaran islam secara logis dengan pendekatan deduktif.
Adapun pengayaan lanjut dalam materi nilai dasar perjuangan adalah pertama: Hakikat penciptaan dan eskatologi, materi ini mengurai tentang hakikat penciptaan manusia dan pembuktian secara rasional akan adanya hari kebangkitan dengan argumentasi yang logis dengan prinsip-prinsip yang rasional, kedua: manusia dan nilai kemanusiaan, materi ini mengurai tentang manusia sebagai khalifah dalam alam makrokosmos dilihat dari berbagai persfektip tentunya dalam kaca mata Qur,an melihat manusia, apa ukuran manusia itu dikatakan sempurna apakah dalam dimensi fisiologis atau dalam dimensi sprtitual, Al-qur’an melihat bahwa ukuran kesempuraan terletak dalam dimensi spritualitas bukan fisiologis seperti yang banyak diungkapkan oleh pemikir-pemikir barat yang berbasis materialistik. Selanjutnya penjabaran meteri dari kemerdekaan manusia dan keniscyaan universal, individu dan masyarakat, keadilan ekonomi dan keadilan sosial dan sains islam mengalami perubahan pada materi yang secara substansial adalah turunan dan penjabaran lebih jauh dari perubahan meteri dari hakikat penciptaan dan eskatologi dan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, yang tentunya dengan uraian materi yang saling terkait antara sub-sub bab masing-masing dalam kerangka yang sistematis.
BAB I : LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR
Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan-gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan, Dewa, malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena adalah mustahil seseorang dapat meyakini atau menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada penilaian maka itu ia dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya adalah apa landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti? Dalam kanca perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua, mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika Islam dalam hal ini menjadikan prima principia dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya.
Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula bagi mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen yang dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab yang lain tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun teologis.
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif. Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang berlandaskan prima principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan kesalahannya, bahwa setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka seluruh bangunan pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah, filosofis dan teologi menjadi runtuh dan tak bermakna.
BAB II: DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).
Ada
berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya. Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan. Manusia – yang terbatas – tidak sempurna – tergantung – memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya. Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad). Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar“.
Sesungguhnya
Ia
lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak. Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian spritual. Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan. Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa. Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini. Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala. Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia terhadap Tuhan dan alam.
BAB III: HAKEKAT PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI (MA’AD)
Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan pondasi penting dari keimanan Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan muslim. Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan kemanakah tujuannya?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan. Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati (Eskatologi). Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan anatara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri. Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.
BAB IV: MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk mulia atau hina.
Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada manusia.
Para
ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi matahari. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya. Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang lebih representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya (QS.33:21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (QS.68:4). Dengan kata lain bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia sempurna) dari seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan lebih rendah dari binatang. Dengan demikian keidentikan kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap ¯sebagai syaitan (QS.6:112).
BAB V: KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR MANUSIA) DAN KENISCAYAAN UNIVERSAL (TAQDIR ILAHI)
Sebagai mahluk Tuhan yang ditetapkan sebagai wakil Tuhan (QS.
2:30
) manusia berbeda dengan batu, tumbuhan maupun binatang. Batu ketika menggelinding dari sebuah ketinggian bergerak berdasarkan tarikan gravitasi bumi tanpa ikhtiar sedikitpun begitu pula halnya tumbuhan yang tumbuh hanya dibawah kondisi tertetu atau sebagai mana binatang yang bertindak berdasarkan naluri alamiahnya. Ketiga mahluk-mahluk ini bergerak atau bertindak tidak berdasarkan ikhtiari. Namum bagi manusia, ia merupakan mahluk yang senantiasa diperhadapkan pada berbagai pilihan-pilihan, dan hanya dengan adanya sintesa antara ilmu dan kehendak yang berasal dari tuhan ia dapat berikhtiar (memilih) yang terbaik diantara pilihan-pilihan tersebut. Tanpa ilmu tentang hal-hal ideal ataupun keharusan – keharusan universal maka meniscayakan ketiadaan ikhtiar dan begitupula ketiadaan kehendak atau keinginan maka iapun mungkin memilih, orang gila (tidak berilmu) dan pingsan (takberkehendak) adalah bukti nyata ketiadaan ikhtiar. Sementara, ketiadaan ikhtiar bukti ketiadaan kebebasan dan itu memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Jadi ia merupakan mahluk berikhtiar yang hanya dapat bermakna bila berhadapan diantara keharusan-keharusan universal (takdir). Keharusan – keharusan universal atau yang biasa disebut sebagai takdir takwini ataupun takdir tasri’i baik yang bersifat defenitif (Dzati) maupun yang tidak bersifat defenitif (Sifati) bukanlah berarti bahwa manusia sesungguhnya hanya sebuah robot yang bergerak berdasarkan skenario yang telah dibuat Tuhan, tetapi hendaklah dipahami bahwa takdir tidak lain sebagai sebuah prinsip akan terbinanya sistem kausalitas umum (bahwa akibat mesti berasal dari sebab-sebab khususnya, dimana rentetan kausalitas tersebut berakhir pada sebab dari segala sebab yakni tuhan) atas dasar pengetahuan dan kehendak ilahi yang Maha Bijak. Takdir Takwini (Ketetapan penciptaan) tiada lain merupakan prinsip kemestiaan yang mengatasi sistem penciptaan alam dan takdir tasyrii (Ketetapan Syariaat) merupakan prinsip kemestiaan yang mengatur sistem gerak individu maupun masyarakat dari segi sosiologis dan spritual.
Memahami konsep takdir sebagai sebuah skenario yang telah ditetapkan oleh tuhan meniscayakan ketiadaaan keadilan tuhan dan konsep pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir tidaklah dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan diatas (yakni takdir takwini sebagai sebuah sistem yang mengatur proses penciptaan dan takdir tasyri’i sebagai ketapan yang mengatur kehidupan etik, sosial dan spritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada proses kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus mendidih. Berbuat baik akan mendapat surga dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau beku, surga atau neraka dan karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar. Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada realitas terdapat hukum-hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia menjadi aktual bila terdapat adanya dan diketahuinya takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk membuat suatu teknologi apapun. Bagi mereka hukum-hukum syariat tak diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi itu sendiri mengharuskan adanya iktiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan ikhtiar pada manusia, tiada ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan ketiadaan kebebasan memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas atau mendapatkan kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti bukanlah sebagai tujuan akhir bagi manusia. Sebab bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir maka kebebasan menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya merupakan syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan. Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau individu yang lain. Sebab defenisi kebebasan itu tersebut adalah sistem etik yang hanya menguntungkan orang – orang kuat dan mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasannya itu sendiri telah dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-orang lemah tidak memiliki daya untuk membatasi kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena kebebasan orang lain tersebut lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu tidaklah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara sosial dalam interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secera spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti kemampuan untuk tidak memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas menindas ketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu pengertian kemerdekaan manusia dan keharusan universal.
BAB VI: INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga.
Jadi
Ia
membentuk masyarakat karena adanya hubungan individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan, sebagimana beberapa individu berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan proses kesadaran sebagai langka terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja sama sebagai langka terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu masyarakat didefenisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama adalah membetuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak dalam mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial (ikatan psikologis antara individu-individu), individu merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat pun tidak ada. Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati, sebagaiman senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran, cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu eksistensi individu dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan kemanusiaannya telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri. Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian, potensi tersebut dapat saja tidak teraktual secara sempurna dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu ini mulai teraktual di kala interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi (sumber harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk yang lebih besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk terjadinya perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab material), maka tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam mengubah wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah sistem sosial yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan kesucian sistem tersebut memberikan implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam hubungannya terhadap alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk mewujudkan sistem sosial.
BAB VII: KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Keadilan menjadi sebuah konsep abstrak yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamnya mereka – mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan menemukan jawaban terhadap sebab – sebab terjadinya ketidak adilan sosial dan ekonomi serta bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga terhindar dari terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus keadilan sosial dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah (positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya serta kapasitas pengetahuannya. Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat bahwa penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga terciptanya kelas – kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran kolektif dari kesadaran kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial (bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi mengatur atau merawat dalam hal menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat – alat produksi ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama) yang dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara menasionalisasikan alat-alat produksi tersebut.
Adapun menurut Islam kepemilikan pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan sebagaimana yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya kepemilikan pribadi yang semata-mata materealistik justru penyebab proses kehancuran sistem kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang sering disebut sebagai ego. Itulah sebabnya mengapa ketika seluruh alat – alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian diamanahkan kepada negara yang nota bene adalah terdiri dari individu – individu sebagai pengelolahnya kemudian berubah menjadi kapitalisme atau borjuis – borjuis baru yang diktator dan menganggap diri mereka tuan (penguasa) bagi unit-unit yang mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi tidak dapat mengubah mentalitas manusia yang punya kecenderungan egoistik. Bagi Islam satu – satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidak adilan adalah dengan memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan hidupnya dari semata-mata bersifat materialistik kekesadaran teologis dan ekskatologis, tanpa memasung atau bahkan mematikan naluri alamiahnya. Adalah suatu kemustahilan disatu sisi ketika kesadaran teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari pandangan dunia seseorang dan disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan atau kepemilikan pribadinya kemudian serta merta ia berubah dari individualis menjadi seorang pribadi yang sosialis (bukan sosialisme). Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia sebagai pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia untuk melakukan hal yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia juga dapat mendorong manusia untuk mencapai kualitas spiritual yang paripurna (insan kamil). Karena itu Islam tidak datang untuk membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun ia datang untuk memupuk, membina dan mengarahkannya secara spiritual dengan suatu kesadaran teologis (TAUHID) dan Ekskatologis (MAAD).
Bagi Islam penyebab terjadinya ketidakadilan sosial dan ekonomi atau dengan kata lain penyebab terjadinya kelas-kelas dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya kesadaran tauhid. Hal ini dapat dilihat ketika al-Qur’an menceritakan mental Fir’aun yang sewenang-wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab terjadinya kelas-kelas (penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan menobatkan dirinya menjadi Tuhan (QS.28:38-39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hai ini Islam mengajarkan untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan dalam Al- Quran yang artinya: ….tidak kita sembah Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Alla (QS.3:64). Adapun di sisi lain penyebab terjadinya ketidak adilan ekonomi (yang miskin semakin miskin dan sebaliknya) disebabkan tidak berjalannya sistem tauhid (pelaksanaan syariat) karena itu kata al-Qur’an menegaskan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari langit atas mereka dan dari bawah kaki mereka (QS.5:66) atau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS.7:96) atau bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (Agama Islam; melarang praktek riba, serta menganjurkan atau bahkan mewajibkan khumus, Jis’ah, sedekah, infak, zakat dll), niscaya benar-benar kami akan memberikan muniman kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak, QS.72:16). Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus antara bertindak sesuai dengan perintah-peritah Tuhan di satu sisi dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan antara distribusi yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil dilaksanakan. Dengan kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan dan meningkatkan kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian inilah selanjutnya akan melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk manifestasi dari pengabdian serta kecintaan kita kepada Allah SWT. Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan sosial dan ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup. Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial. Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk yang terkandung didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan, baik berupa keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya pra-syarat inilah negara ideal sebagai dicita-citakan bersama (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi (syariat) Islam yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap kaum muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor produksi sosio-ekonomi dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan 20-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang dikelola langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol masyarakat dan negara yang berlandaskan pada prinsif-prinsif keadilan.
BAB VIII: SAINS ISLAM
Sains dalam sejarah perkembangan seringkali dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan terhadap nilai-nilai budaya, agama atau pandangan – pandangan tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan positivisme di Eropa adalah contoh-contahnya. Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab sains diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi ia dapat mengembangkan suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi masalah-masalah praktis dan prakmatis manusia serta kemampuannya yang dapat merubah konstruk berfikir manusia itu sendiri sehingga membawa mereka ke arah peradaban baru yang lebih maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilai-nilai budaya, agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang menolak hal – hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya dalam karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai – nilai keagamaan lainnya. Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa pemikir muslim melakukan islamisasi sains terhadap sains-sains modern (sains positivisme) sebagai sebuah bentuk keseriusan mereka dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi) dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari. Hasil dari upaya islamisasi sains inilah yang kita sebut sains islam. Islamisasi sains atau sains Islam dapat dimulai dengan menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit) Islam itu sendiri, yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), serta Kenabiaan.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga bersifat materealistik atau positivistik. Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan berubahnya teori-teori sebelumnya dengan ditemukannya teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau menjadi dipertanyakan relevansinya.
Begitupula islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains islam. Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan status dan basis ontologinya, sebab ia merupakan basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan status ontologis meniscayakan perbedaan pada status epistimologi berikut metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu sendiri. Epistimologi barat berbasis pada status ontologi materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik. Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia tetapkan pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal (objek-objek metafisika). Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains Islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung, deduksi rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen) untuk mengetahui objek-objek fisika. Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi. Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya. Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik). Dalam klasifikasi sains islam karena status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek ontologi, maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains matematika.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Yang ditolak oleh Islam menurut mazhab Ahlulbayt bukanlah teori Evolusi akan tetapi teori evolusi Darwin. Kesalahan fundamental dari teori evolusi darwin adalah bawa ia (Darwin) menisbatkan timbulnya beragam spesies yang berbeda ini karena faktor variasi/mutasi, kemudian terjadi seleksi alam. Hal ini jelas tidak sesuai dengan fakta yang ada (fakta paleontologis) dan fakta rasional (hitungahn matematis).
Apabila benar adanya mutasi secara acak yang menyebabkan adanya variasi, maka seharusnya untuk menghasilkan dua spesies berbeda yang berasal dari satu spesies asal dibutuhkan banyak spesies perantara. Maka untuk menghasilkan keberagaman fauna dan hayati seperti yang ada sekarang ini semestinya dibutuhkan adanya jutaan bahkan trilyunan spesies binatang dan tumbuhan perantara yang gagal beradaptasi/ gagal seleksi. dan tentunya menghasilkan timbunan jumlah fosil yang jauh lebih banyak lagi. Bahkan bisa jadi lapisan kerak kulit bumi ini seharusnya terbentuk dari fosil-fosil binatang-binatang dan tumbuhan yang mengalami mutasi, untuk menghasilkan jumlah keberagaman fauna dan hayati seperti yang ada sekarang. kenyataannya eksplorasi paleontologi tidak menunjukkan fakta tersebut.
Maka Teori Evolusi Darwin yang didasarkan pada mutasi dan seleksi alam sesungguhnya telah runtuh. Tapi tidak demikian halnya dengan Teori Evolusi Agama.
Teori Evolusi Agama menisbatkan bahwa adanya variasi makhluk-makhluk di alam semesta ini tidaklah berdasarkan pada mutasi dan seleksi alam. yang apabila ditarik landasan filosofisnya akan ditemui bahwa Teori Mutasi dan Seleksi Alam Darwinisme mendasarkan bahwa penciptaan ini hanyalah berdasar pada azas kebetulan belaka.
Bagi Teori Evolusi Agama tidak ada kebetulan dalam rancangan penciptaan alam ini. Teori Evolusi Agama mendasarkan diri bahwa keberagaman Ciptaan ini disebabkan karena makhluk sebagai obyek evolusi juga sekaligus memiliki kehendak ikhtiari sebagai subyek evolusi, untuk mengembangkan dirinya mengikuti tuntunan dan kehendak Ilahiah. Maka alam semesta sebagai makhluk Allah dan termasuk segala makhluk-makhluk Allah yang lainnya di alam itu sendiri, dalam usahanya untuk mencapai keridhaan-Nya, dilakukan dengan cara mendekatkan diri dengan kehendak-Nya dan berupaya secara sadar untuk mewujudkan kehendak Allah atas dirinya. Dengan ini maka ia sekaligus juga telah mengembangkan potensi dirinya tidak hanya secara batiniah kepada Allah SWT, etapi juga secara material akan terbentuk proses evolusi makhluk-makhluk Allah yang menunjukkan keagungan-Nya. Apabila ada kehendak ikhtiari makhluk-makhluk Allah untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih baik dalam upaya untuk mencapai kehendak Allah yang akan berakibat akan diperolehnya keridhaan-Nya, maka evolusi terjadi secara terarah, terencana, dengan penuh kesadaran dsan mewujudkan rancangan adanya Pencipta dibelakang semua materialisme yang terindera ini.
kita bukanlah keturunan kera atau monyet. kalau berasal-usul yang sama; iya, akan tetapi kita bukan berasal dari kera, tapi kalau ditilik dari teori evolusi sesungguhnya bahkan gajah dengan semut juga berasal dari asal yang sama.
ingat bahwa biasanya yang pada awalnya sangat bertentangan dengan ilmu pengetahuan adalah doktrin-doktrin gereja dan cerita-cerita israiliyat, cerita gubahan-gubahan para ulana ahlul kitab yang ingkar kepada Allah. Mereka selalu keras menentang ilmu pengetahuan. Ingat yang terjadi pada Galileo. Gereja juga sangat menentang Teori Evolusi, karena kebodohan, mereka menisbatkan bahwa teori Evolusi beranggapan bahwa manusia adalah keturunan kera, padahal manusia dan kera berada pada cabang yang berbeda.
sebenarnya banyak doktrin sejarah Islam yang penafsirannya malah mengadopsi cerita-cerita israiliyat (cerita-cerita yang telah dipalsukan oleh pendeta2 yahudi yang mengikuti hawa nafsunya) seperti misalnya anggapan incest yang terjadi pada putra-putri Nabi Adam. Padahal incest dilarang dalam agama, pembunuhan Habil adalah pembunuhan yang pertamakalinya di dunia yang dikarenakan incest, KIta patut mempertanyakan asal-usul doktrin kita sendiri yang agak aneh, dan tidak bersumber dari Kitab Suci Alqur’an, patut diketahui bahwa bahkan binatang yang bebas hidup liar di alam tidak pernah melakukan incest! binatang yang melakukan incest adalah binatang yang hidup dalam peliharaan ekosistem buatan manusia. sunnguh amat aneh jika binatang tidak melakukan incest tapi manusia justru melakukannya! hal ini melalui tuntunan agama pula!
Patut diketahui bahwa amat banyak terjadi pengadopsian cerita-cerita Islam yang diambil dari cerita-cerita Israiliyat, seperti misalnya bahwa perempuan diambil dari tulang rusuk laki-laki, cerita ini adanya di kitab perjanjian lama (bukan dalam Alqur-an) Alqur’an sendiri telah menjelaskan bahwa Kitab-kitab Yahudi banyak yang telah disimpangkan ceritanya oleh ‘ulama’ mereka yang ingkar. Apabila menengok cerita Perjanjian Lama Yahudi maka akan banyak sekali ditemui kekacauan cerita, seperti cerita Nabi Luth yang meniduri anak perempuannya sendiri, Nabi Nuh yang mabuk, dll. Kebetulan cerita dari Bani Israil inilah yang banyak diambil oleh kalangan muslim awal sebagai sumber rujukan, hal ini disebabkan keengganan mereka mengambil sumber dari ahlulbayt sebagai rujukan sumber cerita sejarah kisah manusia di masa lampau.
Selain daripada itu sejarah membuktikan bahwa tradisi yang selalu bertentangan dengan ilmu pengetahuan di masa lampau adalah tradisi ahlul kitab, terutama tradisi gereja. tercatat Galileo Galilei dan Charles Darwin sendiri adalah pihak-pihak yang amat sangat dimusuhi oleh gereja, karena ilmu pengetahuan bertentangan dengan doktrin gereja. Sedangkan Islam justru merupakan agama dimana ilmu pengetahuan sangat subur dan dipupuk secara mendalam oleh agama ini. Tercatat banyak ilmuwan Islam yang sampai sekarang merupakan para peletak landasan ilmu pengetahuan di dunia